Oleh: Alex Palit
“Lex, kamu, aku masukkan ke WAG Vokalis Rock Indonesia” kata Ecky Lamoh, mantan vokalis grup rock Elpamas dan Edane. Siap, jawabku singkat, mantap.
Dan saya pun senantiasa monitor, sekali-kali ikut komentar di WAG tersebut. Sebagai jurnalis penyuka musik, asyik juga VRI.
Tapi buat aku intinya bukan persoalan gabung di WAG VRI. Sebagai penyuka musik, khususnya rock, terus terang saya apresiatif dengan tiga untaian kata; vokalis, rock dan Indonesia.
Karena tiga untaian kata ini secara termonologis punya muatan makna kata yang begitu gahar dan filosofis.
Kita sering dengar ucapan yang ditujukan kepada anggota DPR, bahwa sebagai wakil rakyat adalah vokalis, yaitu harus vokal menyuarakan kepentingan rakyat.
Setidaknya begitu pula halnya dengan VRI, sebagai vokalis rock juga harus vokal menyuarakan kebenaran.
Kalau dalam dunia jurnalistik, ada istilah bahwa takdir seorang jurnalis harus berani menjadi wacthdog yaitu sebagai anjing penjaga yang bersikap kritis terhadap kekuasaan, atau siap menggonggong terhadap kepincangan sosial atau atas terjadinya dehumanisasi. Itu inti filosofi vokalis rock.
Dalam perspektif kebudayaan, citra rock itu sendiri pada intinya diidentikkan dengan spirit perubahan, pendobrakan atau perlawanan terhadap segala bentuk dehumanisasi.
Lewat nyanyian kritisnya, rock akan selalu tampil memainkan peran perlawanan budaya mengungkap beragam persoalan yang terjadi di masyarakat, seperti pelanggaran hak asasi, ketidakadilan, kesewenang-wenangan, penyalahgunaan kekuasaan, atau kepincangan-kepincangan sosial lainnya. Dan itu sejatinya rock.
Dan sebagai pengibar rock, apakah itu “Vokalis Rock Indonesia” atau grup band yang mengaku beraliran rock atau pengibar rock tidak mengingkari apa itu sejatinya spirit dan filosofi rock itu sendiri.
Kalaupun rock itu sendiri selalu disimbolisasikan dengan semangat kebebasan. Kebebasan inilah yang selalu tetap berkobar menggerakkan dan menghidupkan daya hidup rockers.
Termasuk kebebasan memerdekakan diri dari segala bentuk jebakan ideologi kepentingan politik pragmatis yang berseberangan spirit rock itu sendiri.
Soal apakah pada hari ini rock n’ roll is dead, sudah dijebak dalam kepentingan politik pragmatis kekuasaan yang berseberangan dengan spirit rock itu sendiri, pada akhirnya semua itu berpulang kembali pada diri masing-masing rockers-nya sebagai pengibar rock.
Saya yakin bahwa rock not dead, rock never die, rock tetap hidup. Kalaupun kemudian dibilang rock n’ roll is dead jangan-jangan justru malah rockers-nya itu yang telah “bunuh diri”?
Pastinya dengan satu harapan, kita berharap semoga spirit radikalisme rock itu tidak mati, dibunuh atau dibungkam oleh kekuasaan politik.
Dan tetap hidup menghidupi para jiwa-jiwa berjiwa rock. Ia akan tetap kritis menjadi budaya tanding, budaya perlawanan terhadap segala bentuk dehumanisasi. Itu sejatinya fitrah rock!
Dan saya yakin seyakinnya bahwa citra, fitrah dan spirit rock akan tetap hidup di setiap jiwa sanubari teman-teman vokalis rock di VRI.
* Alex Palit, citizen jurnalis pendiri Forum Apresiasi Musik Indonesia (Formasi), penulis buku “Rock Humanisme God Bless and You” penerbit Elex Media Komputindo (2017) dan “Nada-Nada Radikal Musik Indonesia”.