100 Hari Pemerintahan Jokowi; Antara Philosopher King dan Trader King
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc., M.A*
Hari ini Kamis 30 Januari 2020 tepat 100 hari pemerintahan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. Mungkin sekarang bukan lagi era belajar filsafat politik Plato dalam bukunya, Republik. Seorang raja filosof (Philosopher king) yang berhak memimpin negara kini telah digantikan oleh trader king, pemimpin yang pengusaha. Tidak perlu heran apabila demokrasi kehilangan ruh kebijaksanaannya, lebih berpihak pada kepentingan bisnis dari pada rakyat.
Dalam satu kasus terakhir, pemerintah menunjuk pelaku bisnis untuk memimpin penyusunan undang-undang omnibus law. Semua pasal yang dibahas harus mendapat persetujuan Kamar Dagang dan Industri. Ketika rakyat kecil tidak mampu bertahan dalam tawar-menawar dengan kepentingan negara, demokrasi substantif telah tamat. Apalagi nanti Dewan Rakyat, yang notabene perpanjangan lidah rakyat, turut memuluskan kepentingan pengusaha.
Kekhawatiran publik semacam ini sudah common sense, rahasia umum. Ditambah lagi penegasan dari seorang ekonom senior, Faisal Basri, yang menilai kebijakan omnibus law pemerintahan Jokowi ini mengesankan hanya untuk memenuhi seluruh permintaan dunia usaha, terkait cost tenaga kerja. Sedangkan keterlibatan rakyat kecil seperti para buruh sangat minim sekali. Bukan saja pamor dan marwah presiden yang jatuh, tetapi kelompok oligarki sudah berani terang-terangan menantang rakyat.
Di dalam pemikiran Plato tentang raja filosof, tema kebijaksanaan menjadi topik utama. Sebaliknya, di dalam visi raja yang pengusaha, tema untung-rugi dalam menjalankan negara adalah hal utama. Karenanya, dalam rangka menguji sejauh mana kepentingan bisnis pemerintah hanya bisa diukur dari sejauh mana rakyat merasa dirugikan.
Misalnya, Menteri Kooperasi dan UMKM, Teten Masduki, mengatakan bahwa dengan undang-undang Omnibus Law ini, kita harapkan investasi di UMKM mencapai 60 persen sampai tahun 2024. Saat ini investasi di UMKM masih mencapai 58 persen. Rancangan Omnibus Law dipastikan akan meningkatkan pertumbuhan UMKM.
Nalar pemerintah yang berorientasi pada investor ini bertabrakan dengan nalar rakyat kecil yang mencari kesejahteraan. Ada dua sudut pandang yang sulit dipertemukan. Karenanya, para buruh bergabung ke dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak ide Omnibus Law yang kesannya melayani investor ini, tanpa peduli pada dampak-dampak yang ditimbulkan di belakang hari.
KSPI menilai, Omnibus Law ini akan menghapus sistem upah minimum, menghilangkan pesangon, melanggengkan sistem outsourcing, menghilangkan jaminan pensiun dan kesehatan, membuka masuknya tenaga kerja asing, dan menghapus sanksi pidana bagi penguasa yang tidak mengupah pekerja. Dengan kata lain, rakyat melihat sisi kerugian dari Omnibus Law, sedangkan pemerintah melihat sisi keuntungannya.
Di dalam buku Republik, Plato sudah menjelaskan, negara yang dijalankan oleh kelas pengusaha pasti orientasinya pada untung dan rugi. Negara yang dijalankan oleh kelas tentara pasti orientasinya pada perang. Hanya negara yang dipegang filosof yang bijaksana yang mampu mengayomi seluruh kelas sosial. Dalam konteks ini, Omnibus Law perlu melihatkan kepentingan rakyat, bukan saja pengusaha dan investor.
Sementara itu, pemerintah menunjuk pengusaha untuk menyusun omnibus law dan Faisal Basri mencium aroma loyalitas pemerintah pada para investor. Ini adalah bukti bahwa rakyat sedang berjuang sendirian. Lawan yang dihadapi adalah kekuasaan politik “wakil rakyat” dan kekuatan kapital kelompok oligarkinya. Lantas, ke mana kaum buruh pada khususnya dan rakyat kecil pada umumnya mencari dukungan dan perlindungan?
Dalam situasi ekonomi dan politik yang terpuruk gara-gara kekuasaan dikendalikan kaum oligarki ini, Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj (Ketum PBNU) mengusulkan term “intoleransi ekonomi”. Warga Nahdliyyin diwanti-wanti agar segera sadar untuk bangkit dan mengubah situasi buruk yang sedang berjalan. Muktamar NU 2020 di Lampung penting menjadi simbol dan tugu perlawanan rakyat kecil pada umumnya dan umat muslim pada khususnya pada ketidakadilan ekonomi.
Term intoleransi ekonomi terus diperjuangkan oleh warga Nadhliyyin. Salah satunya melalui Seminar Kebangsaan Pancasila bertajuk “Inspirasi, Kreasi untuk SDM Unggul” di Fakultas Ekonomi dan Manajemen Kampus IPB, Bogor. Tujuannya supaya kekayaan alam negeri ini tidak dikangkangi oleh oligarki yang memiliki kekuasaan politik dan kekuatan modal kapital. Seminar ini bagian dari rangkaian kegiatan Madrasah Kader Nahdlatul Ulama (MKNU), sebagai bukti pembelaan NU dan Nahdliyyin pada masyarakat yang hidup dalam garis kemiskinan dan terpinggirkan.
Rakyat harus ikut serta mengawasi perumusan Omnibus Law yang dipimpin oleh para pengusaha ini. Sangat mungkin, perumusan hukum ini menjadi salah satu cara, di mana kaum oligarki ke depannya ingin dibenarkan secara legal hukum atas segala kejahatan ekonomi yang akan dilakukannya. KSPI harus terus berjuang, supaya teori jual-beli hukum itu di negeri ini tidak terjadi.
Pertanyaannya, apakah cukup perlawanan pada ketidakadilan hukum dan ekonomi? Tidak! Sebelum keadilan hukum dan ekonomi terwujud, jihad tetap wajib dijalankan.
Term intoleransi ekonomi yang Kiai Said suarakan adalah doa sekaligus senjata melakukan perlawanan terhadap “kerajaan setan”, yang dipimpin oleh raja-raja oligarkis, para pengusaha kapitalis, yang ditopang oleh prajurit-prajurit dajjal dengan senjata berupa kekuatan kapital. Gagasan ekonomi kerakyatan yang diperkenalkan Bung Hatta telah diinjak-injak terang-terangan oleh kelompok oligarki ini. Karena itulah, jika KSPI gagal memperjuangkan suaranya, maka tamat sudah mimpi founding-fathers kita.[]
**Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.