News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Lima Dosa HTI Pada NKRI Perspektif KH. Imam Jazuli

Editor: Husein Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Massa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan tertib duduk di depan layar besar untuk mendengarkan keputusan sidang PTUN, Senin (7/5/2018)

Hizbut Tahrir secara eksplisit menentang nasionalisme dan konsep negara-bangsa. Hal itu tercermin salah satunya pada media milik HTI, Al-Wa’ie, edisi 9 Juli 2013 yang menyebut demokrasi dan nasionalisme adalah “kufur dan beracun.” Di mata mereka, nasionalisme bertentangan dengan khilafah dan persaudaraan Islam sedunia. Nasionalisme dianggap haram karena kontraproduktif dengan sitem khilafah global yang mereka cita-citakan akan tegak dalam sebuah daulah Islamiyyah (negara Islam) yang sentralistik.

Hal ini menurut KH. Imam Jazuli, jelas merupakan penghinaan terhadap para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia, termasuk para ulama di dalamnya. Sebab, nasionalisme justru lahir salah satunya dari para ulama dalam rangka menumbuhkan sikap tanggung jawab terhadap agama dan Tanah Air. Kiai Jazuli memandang, nasionalisme yang ditumbuhkan para kiai pejuang kemerdekaan adalah dalam rangka menjamin hak-hak kebebasan beribadah bagi seluruh umat, terutama umat Islam. Sebab, kaidahnya, ma la yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib. Sarana menuju kewajiban adalah wajib. Dalam hal ini, nasionalisme adalah sarana untuk menjamin terlaksananya kewajiban-kewajiban agama. Jika Tanah Air tak merdeka, maka kewajiban beragama sulit ditunaikan.

Yang lebih parah, sikap antinasionalisme yang digelorakan HTI ini justru bertentangan dengan sunnah nabawiyyah, di mana sikap patriotik dan nasionalis justru ditunjukkan oleh Nabi Muhammad saw. Misalnya saja, beliau mengungkapkan kecintaannya terhadap Tanah Air beliau (Mekah) melalui sabdanya:

وَاللهِ إِنَّكِ لَخَيْرُ أَرْضِ اللهِ وَأَحَبُّ أَرْضِ اللهِ إِلَى اللهِ، وَلَوْلَا أَنِّيْ أُخْرِجْتُ مِنْكِ مَا خَرَجْتُ. (رواه الترميذي)
“Demi Allah, sungguh engkau (Mekah) adalah sebaik-baik bumi Allah, dan bumi Allah yang paling dicintai Allah, seandainya aku tidak dikeluarkan darimu (Mekah) maka aku tak akan keluar darimu.” (HR. al-Tirmidzi)

Hal yang sama juga beliau ungkapkan untuk Tanah Air keduanya, Madinah. Beliau mengungkapkan:

اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَمَا حَبَّبْتَ إِلَيْنا مَكَّةَ أوْ أَشَدَّ
“Ya Allah, jadikanlah kami mencintai Madinah sebagaimana Engkau menjadikan kami mencintai Mekah atau lebih dari itu.” (HR. al-Bukhari)

3. Tidak Ikut Berjuang, Malah Ingin Menghancurkan

Hizbut Tahrir baru masuk di Indonesia tahun 1980-an, ketika dibawa oleh Abdurrahman Al-Baghdadi, seorang mandub (utusan) Hizbut Tahrir pusat ke Bogor, Jawa Barat. Al-Baghdadi saat itu membentuk embrio HTI di kampus IPB Bogor melalui halaqah-halaqah kajian mahasiswa yang selanjutnya menjadi Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Al-Baghdadi sendiri saat ini masih hidup nyaman di Indonesi, tepatnya di kawasan Sentul, Bogor. Dia asal Lebanon, namun memegang kewarganegaraan Australia.

Dari sini, bisa dipastikan HTI sama sekali tidak punya andil dalam perjuangan kemerdekaan dan merintis berdirinya NKRI. Namun anehnya, organisasi inilah yang paling getol ingin merobohkan sendi-sendi NKRI dan menggantinya dengan khilafah. Sebagaimana disampaikan KH. Imam Jazuli di banyak kesempatan, NKRI adalah konsensus (al-mu’ahadah) kebangsaan hasil kesepakatan bersama seluruh rakyat Indonesia. Kengototan HTI untuk mendirikan negara berbentuk khilafah adalah pengkhianatan terhadap konsensus kebangsaan tersebut, sekaligus bukti nyata bahwa HTI adalah perusak tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang sudah mapan.

Sikap HTI jelas menentang sikap kebangsaan seluruh pendiri bangsa, termasuk para ulama di dalamnya. Peran ulama dalam merebut kemerdekaan ini tak terbantahkan, dan dapat dibuktikan dengan fakta banyaknya para ulama, terutama dari kalangan NU, yang mendapat penghargaan sebagai Pahlawan Nasional. Sebut saja di antaranya KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Chasbullah, KH. Idham Chalid, KH. Abdul Wahid Hasyim, KH. As’ad Syamsul Arifin, KH. Zainul Mustofa, dan masih banyak lagi. Mereka adatalah para ulama yang kapasitas keilmuan dan kealimannya tak diragukan. Namun alih-alih menyebut negara ini thaghut, ijtihad mereka justru menyatakan bahwa NKRI adalah bentuk negara terbaik bagi rakyat Indonesia, dengan Pancasila sebagai dasarnya.

Hal itu sebagaimana tergambar dengan jelas dalam Deklarasi Hubungan Pancasila dengan Islam yang dikeluarkan saat Munas Alim Ulama NU di Situbondo, Jawa Timur tahun 1983. Pada poin pertama deklarasi itu disebutkan: “Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama, dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.” Sementara pada poin keempat dinyatakan, “Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.”

Oleh karena itu, Kiai Jazuli menegaskan, menegakkan khilafah di bumi Indonesia merupakan sikap yang bertentangan dengan asas maslahat yang menjadi skala prioritas dalam Islam. Sebab, penegakan khilafah akan menimbulkan bahaya perpecahan di dalam masyarakat Indonesia yang sangat majemuk. Potensi perpecahan yang ditimbulkan oleh ide khilafah di antaranya: benturan umat Islam dengan umat-umat lainnya di luar Islam, ajaran Islam dengan nilai-nilai, tradisi dan budaya lokal, dan lain lain. Sementara dalam Islam, sebagaimana ditegaskan kaidah usul fikih, “Dar’ul mafasid muqaddam a’la jalbil mashalih.” Meninggalkan kerusakan itu harus lebih didahulukan dibanding mengambi maslahat (manfaat).

4. Mengelabuhi Umat Islam dengan Dogma Khilafah

Pada poin ini, KH. Imam Jazuli membeberkan dua fakta “pengelabuhan” HTI terhadap umat Islam dengan menggunakan dogma khilafah. Pertama, HTI senantiasa berusaha meyakinkan umat bahwa penegakan khilafah adalah kewajiban yang harus ditunaikan seluruh kaum muslimin. Problem mendasar dari argumen ini, menurut Kiai Jazuli, jika khilafah itu sebuah kewajiban, apalagi bersifat ushul (pokok), kenapa Nabi Muhammad tidak meninggalkan prodak hukum yang bersifat baku dan perundang-undangan yang terperinci serta aplikatif terkait keberlangsungan negara Madinah?
Di samping itu, jika betul khilafah adalah kewajiban pokok agama, maka HTI harus mampu menunjukkan dalil muhkam (paten) dari sumber primer yang bersifat qath’î (pasti), baik qathi’yyuts tsubut (ketetapannya mutlak dan pasti serta tidak diperdebatkan oleh para ulama) maupun qath’iyyud dilalah (makna dan pengertiannya mutlak dan pasti serta tidak diperdebatkan oleh para ulama). Faktanya, tidak ada dalil seperti itu yang menunjukkan bahwa khilafah adalah salah satu kewajiban agama yang paling pokok (ushul).

Kedua, KH. Imam Jazuli menegaskan, dalam upaya untuk meraih simpati dan dukungan masyarakat, HTI seringkali mengumbar romantisme masa lalu kejayaan era khilafah, terutama pada masa dinasti Turki Utsmani. Namun mereka tampaknya sengaja menutup mata terhadap kebobrokan-kebobrokan yang terjadi pada era tersebu, khususnya yang berkenaan dengan para sultan atau raja yang memimpin dinasti-dinasti itu. HTI begitu mengagungkan konsep khilafah model dinasti Turki Utsmani yang bercorak feodalistik dan kesukuan, bahkan cenderung despotik. Padahal, menurut Kiai Jazuli, sistem kekhalifahan Islam telah berakhir dengan terbunuhnya Ali dan munculnya dinasti Umayyah.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini