Kita mafhum, pemerintah mengalami dilema dalam mengatasi pandemi corona ini, apakah akan terus memperpanjang PSBB dengan konsekuensi perekonomian akan mandeg, dan bila sedikit bisa berjalan pun terseok-seok, atau melonggarkan PSBB dengan "new normal" tadi supaya perekonomian bisa bergerak meskipun tidak kencang.
Bila ekonomi mandeg, rakyat pula yang akan sengsara. Pemerintah bak menghadapi buah simalakama.
Namun demikian, jangan demi ekonomi lalu rakyat dikorbankan. Ingat, salus populi suprema lex esto. Maka harus ada jalan tengah supaya seimbang.
Ibaratnya, pemerintah harus pandai-pandai mendayung sampan di antara dua karang. Bila tidak lihai, maka sampan bisa menabrak salah satu karang atau bahkan kedua-duanya.
Pemerintah harus bisa menyelamatkan perekonomian nasional demi rakyat di satu sisi, tapi di sisi lain juga harus bisa menyelamatkan rakyat dari ancaman corona.
Inilah yang diamanatkan Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yakni melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Caranya? Buat dan tegakkan aturan dengan jelas, lugas, tegas, tidak ambigu dan tidak multitafsir. Buat aturan yang denotatif, bukan konotatif seperti larangan mudik kemarin yang berstandar ganda.
Dalam mengatasi pandemi Covid-19, sesungguhnya negara sudah memiliki Undang-Undang (UU) No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan dan Kesehatan.
Presiden Jokowi kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid 19) pada 31 Maret 2020.
Menyusul kemudian Peraturan Menteri Kesehatan No 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid 19). Nah, ketiga aturan tersebut harus ditegakkan dengan tegas, jangan sampai jadi macan kertas.
Aturan yang jelas dan tegas akan bisa mengatur dan mendisiplinkan siapa pun.
Lihat saja di Singapura. Bila ada orang Indonesia berkunjung ke Singapura, di sana dia tak bakalan berani membuang sampah sembarangan, misalnya, meski kalau di Tanah Airnya sendiri biasa membuang sampah sembarangan.
Lihat pula orang Singapura yang berkunjung ke Jakarta.
Mereka terkadang dengan mudah membuang puntung rokok sembarangan, suatu hal yang tak pernah mereka lakukan di Tanah Airnnya sendiri karena akan mendapat sanksi yang tegas.