Panggung demi panggung mereka jelajahi. Baik yang nasional maupun internasional. Tercatat beberapa ajang penting seperti; Friday Jazz Night di Ancol, Jazz Goes to Campus Universitas Indonesia sejak 2003 hingga sekarang. Java Jazz sejak 2005, 2006, dan 2012 sampai dengan 2020.
Di luar Indonesia G&B tampil di sirkuit music Hard Rock Café restaurants di kota-kota Singapura, Shanghai, Kuala Lumpur selain Hard Rock Café Jakarta dan Bali. Lalu Kuala Lumpur Jazz Festival 2007, Orbit Room, Toronto Canada.
Di usianya yang belia dan karena sering tampil dalam berbagai jazz festival, Bass berkesempatan untuk berkolaborasi dengan musisi senior Indonesia seperti almarhum Bubi Chen, Benny Likumahuwa Oele Patiselano, Jance Manusama, Mus Mujiono, Indra Lesmana, Arief Setiadi, Bintang Indrianto, Lewis Pragasm Harry Toledo, Idang Rasjididll.
Di ajang internasional berbagi panggung dengan Jim Lawlis, Ron Davis, Arthur Manuntag, Takumi Nakayama, Christie Smith, Tan Wei Xiang, Greg Lyons, Timothy O’Dwyer, Tim de Cotta dan Rit Xu.
Bass juga banyak membuat komposisi dan aransemen, terutama untuk seksi brass dan woodwind untuk musisi satu regenerasi di atasnya, seperti Barry Likumahuwa, Dimas Pradipta, Janina Ahadi, bahkan musisi senior Candra Darusman. Menurut Bass, Jazz adalah dunia musiknya ketika dirinya berada direntang usia 14 hingga 22 tahun.
Seiring berjalannya waktu, kepribadian musikalnya mulai tumbuh. Bass secara perlahan tapi pasti mulai open minded dan beranjak dari zona nyaman. Semakin mendalami dan mengerti teori fundamental akademis Jazz Bass makin bisa mengapresiasi musik yang lebih simple.
Lalu Bass juga mengamati dan banyak berdiskusi dengan anak didiknya di Raffles School tempat Bass mengajar, yang menyukai musik kekinian. “Begitu saya masuk sekolah jazz, banyak musisi yang lebih jago dan lebih musikal dibanding saya, tapi mereka bisa menerima musik ‘kekinian’. Ini pembelajaran buat saya," ungkapnya.
Dan kini Bass bereksplorasi dengan beragam genre, mulai dari musik pop, rock, dangdut dan lainnya. Bass pun menulis partitur lagu baik karyanya sendiri maupun orang lain.
PENDIDIKAN FORMAL BERSINERGI DENGAN MUSIK
Idiom bahwa ‘boleh menekuni musik, tapi perlu belajar akademis’. Hal tersebut dipegang teguh oleh keluarga Denis ‘The Sax Man’ Sibbald. Untuk itulah, Bass wajib menggenggam pendidikan formal. Setelah lulus SD Tarakanita 1, Barito, Jakarta Selatan, Bass melanjutkan ke SLTP di Raffles Christian International School, Jakarta Selatan, dan mendapatkan beasiswa sampai Grade 8.
Selinear dengan Gadiz, kakaknya, di tahun 2008, Bass berangkat ke Canada, melanjutkan studinya di Bronte College, Mississauga untuk menyelesaikan SLTA-nya disana. Selanjutnya, Bass meneruskan studinya di University of Toronto, Canada dan menekuni bidang Business and Administration.
Kembali ke Indonesia, Bass hanya berdiam diri 3 bulan di Jakarta lalu kembali menempuh studi di bidang musik di Lasalle College of the Art di Singapura. Tahun 2016 Bass menyelesaikan studi musik strata satunya dan mendapatkan gelar Bachelor of Arts with First Class Honours in the field of the study of Performing Arts. Sesudah menyelesaikan S1, Bass kembali ke Jakarta. Disamping bermain musik secara professional Bass juga mengabdi sebagai
pengajar tingkat SMA di almamaternya, Raffles International School tahun 2016-2017. Selanjutnya Bass menjadi pengajar tingkat universitas di Universitas Pelita Harapan, Karawaci dari tahun 2018 hingga sekarang.
Mengajar murid dan main di panggung itu dunia yang hanya berbeda, kisah Bass. Kenikmatan dan kesenangan juga beda. “Manggung itu instant dan entertaining, jika penonton senang itu feedback energi buat musisi. Kalau ngajar itu cape jika muridnya malas latihan, kekesalannya memuncak di akhir semester. Bahagia kalau murid bisa mengikuti pelajaran dan ujian dengan nilai yang baik, ada kepuasan kita sebagai pengajar,” curhat Bass lagi.