Oleh Delianur
Pemerhati Kemasyarakatan dan Masalah Kedirgantaraan
Tinggal di Bandung
PADA gelaran festival teknologi 7-13 Agustus 2017 yang dilaksanakan Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Baparekraf) pesawat R80 turut dipamerkan.
Pesawat R80 akan dibuat PT Regio Aviasi Industri (RAI) mulai dari tahapan desain produksi, sertifikasi sampai assembly.
PT RAI sendiri adalah sebuah perusahaan yang didirikan Presiden Indonesia Ke-3, BJ Habibie, beserta putranya Ilham Habibie.
Pada waktu itu projek R80 masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) melalui Peraturan Presiden Nomor 58 tahun 2017. Sebuah keputusan Presiden yang dalam 3 tahun belakang kita ketahui dianulir.
R80 dikeluarkan dari PSN dengan alasan negara sedang krisis keuangan karena sedang menghadapi pandemi Corona.
Meski pada waktu bersamaan pemerintah tetap mencantumkan proyek Pesawat Udara Nir Awak (PUNA) Drone Elang Hitam Kombaan, Elang Hitam (EH-4) dan EH-5 yang dibuat Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
R80 sendiri adalah sebuah pesawat komersial yang memiliki dimensi panjang 32,3 meter dengan sayap lebar 30,5 meter dan tinggi 8,5 meter.
Pesawat ini mampu terbang dengan kecepatan 330 knots atau sekitar 611 km per jam dengan kecepatan ekonomisnya mencapai 290 knots atau sekitar 537 km perjam dengan jangkauan 1.480 km.
Memakai teknologi Fly by Wire, maka semua kontrol pengendalian R80 bisa dilakukan melalui komputer.
R dalam R80 sendiri bermakna Regional. Sedangkan 80 bermakna jumlah penumpang. Karena R80 bisa menampung 80-90 penumpang.
R80 akan mempermudah konektivitas jarak dekat untuk negara-negara kepulauan.
Dengan kapasitas mini dan jarak tempuh yang tidak terlalu jauh, R80 bisa menjangkau kota-kota dengan landasan pacu tidak panjang.
Pesawat gagasan Habibie ini diyakini akan menjadi raja baru di tipe Avions de Transport Regional (ATR) yang selama ini banyak dipakai maskapai komersial. Karena itu tidak aneh bila NAM Air, Kalstar, Trigana Air dan Aviastar langsung memesan pesawat berbandrol 25 Juta Dollar Amerika ini.
R80 yang di desain sejak 7-8 tahun yang lalu, akan mulai lepas landas pada tahun 2025. Sejak tahun 2018 sudah masuk dalam tahapan pembangunan proto type yang akan dilanjutkan pada fase uji terbang.
Melalui program crowd funding untuk melibatkan partisipasi masyarakat, R80 berhasil membangkitkan kembali semangat masyarakat Indonesia untuk memiliki pesawat buatan bangsa sendiri.
Rangkaian informasi tentang R80 ini mau tidak mau mengagetkan masyarakat. Banyak orang seperti tidak percaya dengan rencana pembuatan R80 ini.
Namun faktanya, launching pesawat terbaru ini bukan dilakukan dalam waktu singkat.
Meski baru akan terbang pada tahun 2025, butuh waktu sampai 4-5 tahun sebelum di launching pada empat tahun lalu.
Setidaknya ada tiga hal yang membuat orang kaget dengan ide R80 yang sudah berjalan ini.
Pertama, industri pesawat terbang bukan hanya industri Hi-Tech yang membutuhkan kecerdasan dalam berpikir dan ketelitian dalam bekerja, tetapi juga industri padat modal dan padat kerja.
Membangun pesawat bukan hanya membutuhkan uang triliunan rupiah, tetapi juga tenaga kerja cukup banyak.
Kedua, R80 adalah pesawat yang dirancang untuk penerbangan komersial. Bagaimanapun, dalam industri pesawat terbang, memasuki dunia pesawat komersil adalah langkah maju.
Menjadi produsen pesawat komersil diyakini akan membuat industri berjalan lebih stabil dan maju. Ketimbang menjadi produsen pesawat militer atau sub kontraktor dari pabrik pesawat komersil. Namun untuk mencapai itu, tentunya bukan suatu yang gampang.
Di samping membutuhkan dana yang sangat besar, juga butuh konsistensi, kesabaran, juga determinasi yang tinggi untuk mencapainya. Karenanya di dunia ini, hanya ada dua pabrik pesawat komersil terkemuka ; Air Bus dan Boeing.
Ketiga, secara tipologis, setidaknya ada empat jenis pesawat penumpang. Jumbo Passenger-Jets seperti Air Bus A340 300 dan Boeing 747 400. Mid-Size-Passenger-Jets seperti Air Bus 318 dan Boeing 737 600. Light-Passenger-Jets seperti Antonov an-148 dan Embraer 170.
Passenger-Turbo-Props seperti ATR 42-500 dan Cessna Grand Caravan. R80 mungkin masuk kategori Passanger-Turbo Props yang bersaing dengan Cessna yang dulu pernah menjadi mitra PT Nurtanio Bandung.
Meski masuk kelas paling bawah, point nya adalah bahwa R80 sudah masuk dalam bisnis pesawat komersil yang selama ini diidamkan banyak orang.
Keempat, masyarakat Indonesia pasti belum lupa efek krisis moneter yang telah membuat PT Nurtanio ambruk. Pabrik yang berlokasi di Bandung dan pernah jaya dan mendapat banyak privillege di masa Presiden Soeharto, tiba-tiba jatuh berkeping-keping.
Perusahaan mesti memecat ribuan karyawannya karena tidak ada lagi uang sehigga pengadilan pun menyatakan perusahaan ini pailit. Meski pada akhirnya proses banding menolak putusan tersebut.
Namun bila kita lihat lebih jeli lagi, proses kemunculan R80 ini sejatinya tidaklah sebuah proses tiba-tiba. Sebelum R80 ini dilaunching, perlahan tapi pasti industri dirgantara nasional kita menggeliat.
Hanya, mungkin tidak begitu terlihat oleh banyak orang. Selain karena masih lekat ejekan terhadap industri dirgantara nasional yang disimbolkan pada PT Dirgantara Indonesia (PT DI), orang juga sedang terpukau dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Menggeser teknologi pesawat dan mesin yang selama ini menjadi primadona masyarakat.
Bila kita geser beberapa waktu sebelum R80 dilaunching, maka berkaitan dengan dunia dirgantara kita akan dikejutkan dengan terbang perdana pesawat N-219 Nurtanio buatan PT DI pada 16 Agustus 2017.
Seperti yang diketahui, proses pembuatan pesawat terbang adalah proses yang sangat panjang. Bukan proses tiba-tiba. Begitu juga dengan N-219 Nurtanio. Meski baru uji perdana pada tahun 2017, tapi proses nya sudah berjalan jauh sebelumnya.
Pesawat N-219 Nurtanio sendiri diawali pada tahun 2003 ketika PT DI mengungkapkan rencana pengembangan pesawat kapasitas 19 penumpang dan membuka kerjasama dengan banyak negara.
Proyek ini bisa dilaksanakan 3 tahun berikutnya, 2006, setelah ditanda tangani kerjasama antara Qatar-Indonesia dalam Joint Investment Fund dengan nilai investasi sebesar US$65 Juta. Pada Agustus 2016, Airbus Defence and Space menyatakan komitmen untuk memberikan bantuan dalam pencapaian sertifikasi N-219.
Prototipe pertama N-219 sendiri selesai pada 2017 dan uji coba perdana dilaksanakan pada tahun sama di Bandara Husein Sastranegara. Durasi percobaan dari lepas landas hingga pesawat mendarat kembali adalah 26 menit.
Pesawat komersil yang bisa menampung 19 penumpang yang sangat cocok untuk negara kepulauan seperti Indonesia ini, waktu itu ditargetkan mulai produksi sekitar akhir tahun 2019.
Bila kita melihat peluncuran pesawat N-219, mestinya kita tidak aneh dan kaget mendengar berita peluncuran R80. Sebuah pesawat rancangan PT RAI yang mempunyai kapasitas penumpang lebih banyak dan spesifikasi lebih tinggi dibanding N-219. Kita seperti melihat adanya kesinambungan tidak terputus dari N-219 ke R80.
Meski mungkin keduanya datang dari dua perusahaan yang berbeda. Bila dilihat dari urutan waktu, maka ketika ide N-219 dikeluarkan, ide R80 belum muncul.
Namun ketika N-219 sudah melakukan uji coba terbang perdana pada tahun 2017, di tahun yang sama rancangan R80 sudah dikeluarkan.
Bila R80 adalah pesawat gagasan Habibie, maka sebetulnya kebangkitan PT DI sebagai simbol industri pesawat terbang nasional pun pada akhirnya tidak bisa dilepaskan dari tangan dingin Habibie.
Budi Santoso, Direktur Utama PT DI pascapailit serta orang yang mula pertama menggagas ide N-219 Nurtanio, pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari sosok Habibie itu sendiri.
Sebelum memimpin PT Pindad, Budi Santoso adalah orang yang pernah menjadi bawahan Habibie ketika PT DI bernama PT IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara).
Sebagaimana diungkap Budi Santoso dalam interview dengan sebuah TV Nasional, ketika Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono ingin menghidupkan kembali industri pesawat terbang nasional dan meminta saran Habibie perihal orang yang dianggap bisa mengangkat kembali PT DI, nama Budi Santoso lah yang disebut Habibie.
Lalu bila kita melihat perkembangan PT DI pasca pailit, Habibie sepertinya memang tidak keliru mempromosikan anak buahnya untuk membangkitkan PT DI.
Presiden Indonesia ke-3 ini sepertinya bukan hanya bisa mengeluarkan sebuah rancangan pesawat yang canggih, tetapi juga sudah mendidik banyak orang untuk membangkitkan kembali industri pesawat yang sempat terpuruk pasca krisis moneter 98. (*)