Oleh: Karyudi Sutajah Putra
TRIBUNNEWS.COM - Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama.
Demi nama, manusia rela melakukan apa saja.
Lihat saja Djoko Soegiarto Tjandra. Terpidana dua tahun penjara kasus korupsi "cessie" Bank Bali Rp 904 miliar ini rela menjadi "pelari" jarak jauh.
Mungkin yang terjauh di dunia. Bahkan hingga 11 tahun lamanya.
Sejak 10 Juni 2009, atau sehari sebelum Mahkamah Agung (MA) membacakan putusan perkaranya, Joker, panggilan akrab Djoko Tjandra, melarikan diri ke Papua Nugini.
Kemudian berpindah-pindah ke Malaysia, Singapura dan entah mana.
Baca: Kejaksaan Agung Periksa Kajari Jaksel, Pengacara Djoko Tjandar Kelabakan, Mengaku Ponselnya Diretas
Mengapa Joker harus melarikan diri? Padahal, jika tidak, medio 2011 dia sudah bisa keluar dari penjara dan memulai bisnis lagi.
Tapi tidak. Baginya, nama lebih utama. Joker merasa tak bersalah.
Sebab jaksa yang mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke MA ia nilai melanggar Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang menyebut hanya terpidana atau ahli warisnya yang berhak mengajukan PK.
Di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Joker divonis bebas pada 2008. Begitu pun di tingkat banding dan kasasi.
Hanya terpidana atau ahli warisnya yang berhak mengajukan PK. Jaksa tidak! Maka ketika MA mengabulkan PK jaksa, Joker menolak. Hanya ada satu kata: lawan!
Dalam permainan remi, Joker adalah kartu yang bisa menggantikan kartu lain. Joker bisa menjadi kartu apa saja, termasuk As.
Sesuai namanya, Djoko Tjandra alias Joker pun demikian. Ia menyerupai bunglon yang warnanya bisa menyesuaikan dengan warna apa saja sesuai tempat di mana dia berada.
Serupa bunglon, Joker tak terdeteksi sebagai buron ketika mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP) di Kelurahan Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Jaksel, 8 Juni 2020. Bahkan ia beroleh perlakuan istimewa.
Begitu pun di PN Jaksel saat Joker mendaftarkan PK pada hari yang sama. Ia bisa lenggang kangkung, tak ditangkap. Padahal, Joker pernah disidangkan di PN Jaksel. Mustahil tak dikenali.
Tumbal
Tidak hanya menjadi pelari terjauh dan serupa bunglon, Joker juga harus mengorbankan tumbal demi namanya. Lurah Grogol Selatan Asep Subahan dicopot, sebagai tumbal pertama.
Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo juga dicopot, karena menandatangani surat jalan Joker bernomor SJ/82/VI/2020/Rakorwas tertanggal 18 Juni 2020. Ia menjadi tumbal kedua.
Keputusan pencopotan Prasetijo tertuang dalam Surat Telegram Nomor: ST/1980/VII/KEP./2020 yang terbit pada Rabu (15/7/2020) dan diteken Asisten SDM Kapolri Irjen Sutrisno Yudi Hermawan.
Tidak hanya dicoppt. Menurut Kepala Bareskrim Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo, Prasetijo juga akan dipidanakan. Dugaan aliran uang dari Joker juga akan ditelisik.
Joker juga diduga mendapatkan surat bebas Covid-19 yang dikeluarkan Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Pusdokkes) Polri bernomor: Sket Covid-19/1561/VI/2020/Satkes tertanggal 19 Juni 2020 yang diduga diteken dr Hambektahunita.
Akankah dokter ini juga dicopot? Bila surat itu benar, maka pencopotan yang bersangkutan hanya soal waktu, karena sudah ada preseden atau yurisprudensinya, yakni pencopotan Brigjen Prasetijo Utomo.
Bahkan mungkin dipidanakan, dan dugaan aliran uang dari Joker ditelisik pula.
Ataukah dokter itu akan aman-aman saja, karena yang memfasilitasi tes Covid-19 itu Brigjen Prasetijo Utomo?
Tidak itu saja, Red Notice atas nama Joker juga dihapus. Hal itu terungkap setelah beredarnya surat bernomor B/186/V/2020/NCB.Div.HI perihal penyampaian penghapusan Interpol Red Notice.
Surat tertanggal 5 Mei 2020 itu tertuju kepada Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Adalah Sekretaris National Central Beureu (NCB) Interpol Indonesia, Brigjen Nugroho Wibowo, yang diduga menandatangani surat permintaan penghapusan Red Notice tersebut.
Akankah yang bersangkutan juga dicopot? Melihat yurisprudensinya, pencopotan jabatan, pemidanaan dan penelusuran dugaan aliran uang dari Joker hanya soal waktu.
Akankah Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Jaksel Nanang Supriatna juga dicopot dan menjadi tumbal berikutnya?
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengaku akan memeriksa Nanang terkait sebuah video pertemuan Kajari Jaksel itu dengan tim kuasa hukum Joker yang beredar luas. Pertemuan itu diduga untuk melancarkan pergerakan Joker di Indonesia.
Akankah pejabat PN Jaksel juga dicopot? Mestinya demikian.
Imigrasi juga tak mendeteksi masuknya Joker ke Indonesia. Akankah pejabat Imigasi juga dicopot? Mestinya juga demikian.
Mengapa Joker bersikeras menempuh PK? Bukankah dia sudah bisa hidup tenang di. luar negeri? Untuk membersihkan namanya dan nama keluarganya. Bukan untuk kembali ke Indonesia. Begitu kata Anita Kolopaking, pengacara Joker.
Jadi, demi nama, Joker rela menjadi pelari jarak jauh, menyerupai bunglon, dan menumbalkan sejumlah pejabat.
Dihimpun dari sejumlah sumber, sebutan Joker yang melekat pada Djoko Tjandra mencuat pertama kali saat Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menyidangkan perkara suap jaksa Urip Tri Gunawan oleh Artalyta Suryani pada 12 Juni 2008.
Dalam rekaman percakapan telepon antara Artalyta dan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung saat itu, Kemas Yahya Rahman, yang diperdengarkan di persidangan, Artalyta sempat menanyakan masalah Joker. Akhirnya terungkap yang dimaksud Joker adalah Djoko Tjandra.
Bukan hanya namanya sendiri, Joker yang lahir di Sanggau, Kalimantan Barat, 27 Agustus 1950 ini juga menjaga nama keluarganya, termasuk tiga saudaranya, yakni Eka Tjandranegara, Tjandra Kusuma, dan Gunawan Tjandra.
Ternyata, nyaris semua etnis bersikukuh menjaga nama, jangan sampai tercoreng. Apalagi setelah memiliki kekayaan.
Bahkan orang Jawa bilang, "jeneng" (nama) lebih utama daripada "jenang" (bubur/kekayaan). Sebab, "jeneng" akan mendatangkan "jenang".
Bagi etnis Tiongkok seperti Joker, pemilik Grup Mulia yang membawahi 41 perusahaan baik di dalam maupun di luar negeri, menjaga reputasi dan integritas sangatlah penting.
Nama baik merupakan hal yang utama untuk dijaga. Tidak hanya nama baik diri sendiri, integritas keluarga juga sangat perlu dipertahankan. Itulah yang kini sedang diupayakan Joker. Sedetik pun ia tak mau dipenjara.
Oknum-oknum pejabat pragmatis pun ramai-ramai membantu Joker menjaga namanya, meski untuk itu harus mengorbankan nama mereka sendiri.
Berbeda dengan Joker yang mengutamakan "jeneng" daripada "jenang", oknum-oknum pejabat pragmatis itu diduga lebih memburu "jenang" daripada "jeneng". Mereka bahkan rela ditumbalkan.
* Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media, Tinggal di Jakarta.