Bersama Budi Santoso turut pula dijadikan tersangka dan sekaligus ditahan yaitu mantan Asisten Dirut PT DI yaitu Irzal Rinaldi Zailani.
Masalahnya, tudingan korupsi itu kelak akan menjadi dakwaan di pengadilan yang sangat sumir.
Dakwaannya terhadap Budi Santoso yang sudah mempersiapkan PT DI kembali terbang tinggi adalah korupsi dan merugikan keuangan negara.
Namun fakta yang menguak, Dirut PT DI hanya menggunakan uang operasional yang biasa digunakan untuk keperluan negosiasi dan lobby bisnis seperti biasa.
Budi Santoso akan didakwa korupsi karena kekeliruan administratif dalam mengelola keuangan perusahaan ketimbang perbuatan korupsi sebagai sebuah pelanggaran etik memakan uang negara.
Dalam silang yang nanti sengkarut seperti ini, mau tidak mau pemerintah mesti turun tangan untuk lebih bisa menjernihkan bagaimana seharusnya badan usaha negara itu dikelola.
Jangan sampai pelanggaran administratif berubah menjadi pelanggaran etik.
Pemerintah perlu menunjukan political will untuk menunjukkan kepedulian terhadap bangkitnya industri pesawat terbang nasional yang sudah mulai mengepakan sayapnya untuk terbang tinggi.
Presiden Soekarno telah mengirim Nurtanio untuk belajar industri dirgantara ke Filipina. Presiden Soeharto telah mendirikan PT IPTN dan memberikan dukungan penuh terhadap perusahaan ini dalam membangun industri pesawat nasional.
Sementara Presiden SBY sudah menunjukan political will dengan membangkitkan kembali PT DI yang sebelumnya terpuruk karena krisis moneter.
Maka adalah kewajiban Presiden berikutnya untuk menunjukan political will terhadap perkembangan industri dirgantara.
Karena bila tidak ada political will untuk melindungi industri dirgantara, maka dunia dirgantara kita tidak akan kunjung terbang tinggi pula. Riwayatnya hanya berkutat seputar terpuruk dan bangkit seadanya saja. Tidak ada riwayat terbang tinggi.
Hal di atas perlu ditegaskan karena saat ini tidak adanya political will pemerintah untuk melindungi industri dirgantara nasional, termasuk juga terlihat dari perjalanan pesawat R80 rancangan BJ. Habibie. Suhu dan mentor nya Budi Santoso.
Sebagaimana diketahui, R80 adalah pesawat regional jarak pendek berkapasitas 80-92 penumpang yang dikerjakan PT Regio Aviasi milik Presiden BJ. Habibie.
Diperkenalkan tahun 2017, pesawat ini sangat cocok negara kepulauan seperti Indonesia. Sejumlah maskapai penerbangan sudah berencana menjadikan R80 menjadi bagian dari armada mereka.
R80 telah kebanjiran pesanan. NAM Air sudah memesan sebanyak 100 unit, Kalstar sebanyak 25 unit, Trigana Air 20 unit dan Aviastar sebanyak 10 unit.
Karenanya ketika memperkenalkan R80, Almarhum BJ Habibie sangat optimis bila pesawat rancangannya ini akan menjadi ujung tombak industri penerbangan nasional.
Bersama pesawat N-245, R80 yang dikembangkan Habibie ini, sudah dimasukan pemerintah sebagai bagian dari tiga program Proyek Strategis Nasional yang dikelola Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP).
Namun karena tidak adanya political will pemerintah dalam mengembangkan dan menjaga industri pesawat terbang nusantara, 29 Mei 2020 yang lalu, pemerintah mengeluarkan R80 dan N-245 dalam daftar Proyek Strategis Nasional lebih lagi akibat pandemik Covid-19. R80 dan N-245 tersingkir dari Proyek Strategis Nasional dikalahkan dengan pengembangan proyek pengembangan drone.
Mari kita berharap agar pemerintah memberikan dukungan yang kuat serta penuh bagi proses pengembangan dan terus bangunnya industri pesawat ini, bukan sekadar produk atau karya PT DI yang musti didukung, tapi sekaligus upanya dalam menciptakan SDM yang unggul dalam industri pesawat tersebut. (*/)