Dalam lingkungan komputerlah, tengkorak utuhnya diwujudkan, dan selanjutnya dibuat replikanya, dan kemudian berdasarkan ini kepingan-kepingannya disatukan secara nyata.
Sekaligus dalam kerja ini dapat diketahui kapasitas dan sebagian besar morfologi endokranialnya.
Kita akan sulit membayangkan, betapa lama waktu yang harus dibutuhkan untuk mewujudkan bentuknya seperti sediakala jika tanpa bantuan piranti tersebut.
CT (computed tomography) juga telah menjadi alat penelitian yang ideal untuk mengakses struktur internal fosil-fosil berharga yang bervariasi ini tanpa merusak atau bahkan menyentuh mereka.
Metode-metode itu telah diterapkan beberapa peneliti untuk mengevaluasi filogeni dan taksonomi Primates, khususnya hominid oleh para peneliti sebelumnya, menggunakan -metode konvensionalnya untuk memahami evolusinya.
Beberapa kolega dari Amerika dan Swiss telah mengoreksi kesenjangan pemahaman atas filogeni dan taksonomi bonobo (Pan paniscus) terhadap simpanse (Pan troglodytes).
Selama beberapa dekade yang lalu bonobo masih dianggap simpanse paedomorfik (paedomorphic, juvenilized).
Mereka menerapkan 3D virtual reconstruction terhadap 30 tengkorak Pan troglodytes dan 19 tengkorak Pan paniscus secara cross-sectional dengan menggunakan 3D digitized landmarks internal dan eksternal.
Juga menggunakan hasil-hasil CT scan-nya untuk mengetahui ukuran dan bentuk kuantitatifnya dan menerapkan kriteria maturitas gigi untuk memperkirakan umur gigi relatifnya.
Heterokroninya telah dievaluasi dengan menggunakan hubungan kombinasi ukuran-bentuk (allometri) dan bentuk-umur untuk keseluruhan tengkorak, wajah dan tempurung otaknya.
Secara garis besar, hasil analisisnya menunjukkan, tengkorak Pan paniscus relatif paedomorfik terhadap Pan troglodytes untuk komponen utama variasi bentuk yang dikaitkan ukuran (size-related shape variation).
Kemungkinan besar melalui sebuah mekanisme posformasi (paedomorphosis due to initial shape underdevelopment).
Selain itu, hasil ini juga menunjukkan tidak semua aspek perbedaan bentuk di antara dua spesies ini, khususnya pada wajahnya, dapat dikaitkan transformasi heterokronik.
Perbedaan-perbedaan perkembangan yang bersifat tambahan (additional developmental differences) juga harus terjadi selama evolusi mereka.
Aplikasi 3D virtual renconstruction untuk penelitian paleoantropologis yang materialnya berupa sisa-sisa manusia masa lampau, yang umumnya berupa jaringan kerasnya, yakni gigi-gigi dan tulang-tulang.
Makin purba temuan-temuannya, makin terbatas kualitas dan kuantitas fosil-fosilnya. Aplikasi teknologi itu secara virtual telah berhasil untuk memahami karakteristik-karakteristik morfologisnya secara detail.
Muncul irisan-irisan yang sangat tipis, termasuk endokranialnya. 3D virtual renconstruction telah menjadi alat penelitian yang ideal untuk mengakses struktur internal fosil-fosil berharga yang bervariasi itu tanpa merusak atau bahkan menyentuh mereka.
Beberapa spesimen rusak sebagian, sehingga bagian-bagian yang hilang direkonstruksi di lingkungan komputer untuk mendapatkan estimasi dari volume otak dan morfologi endocranialnya, kedua bidang utama yang sangat menarik dalam antropologi biologis.
Kepentingan penguasaan teori dan metodologi demikian dapat memberikan beberapa keuntungan.
Antara lain bank data rekonstruksi fosil-fosil virtual, penggunaan endocasts (cetakan rongga dalam) untuk menjelaskan morfologi otak, analisis biomekanik distribusi tulang-belulang, citra dari mumi.
Juga penelitian tentang kesehatan manusia purba, dan penelitian mikroanatomi tulang-tulang dan gigi-gigi.
Aplikasinya juga mampu untuk memahami makin sempurna biomekanika atas tinggalan sisa-sisa jaringan keras paleozoologis dan paleoantropologis, serta rekonstruksi wajah untuk kasus-kasus antropologi atau arkeologi forensik.
Tatkala kita merekonstruksi sebuah fosil secara digital, maka di sini kita dapat membalik urutan prosesnya karena merupakan kerja di lingkungan komputer yang sengaja prosesnya dapat dibuat dan diatur oleh para peneliti.
Teknik pencitraan ini di dalam keperluan medis memungkinkan visualisasi struktur-struktur morfologi internal, yang sebelumnya tidak dapat diakses untuk analisis morfometrik dan biomekanik.
Karena fosil-fosil manusia purba sangat langka, maka mustahil menggunakan teknik yang sangat merusak dalam kerangka studi morfologis lengkapnya.
Analisis-analisis tradisional hanya dapat mengandalkan informasi-informasi yang diperoleh dari studi morfologis eksternal spesimennya, dan ini sungguh membatasi pendekatan studi evolusi manusia.
Metode-metode berbasis komputer itu memiliki kesamaan mereka tidak akan merusakkan fosil-fosil yang sedang ditangani karena aktivitas ini hanya berlangsung dalam lingkungan komputer saja.
Walaupun penelitian DNA masih sulit untuk temuan-temuan paleontologis terpurba, kemajuan penelitian-penelitiannya makin mengesankan khususnya di sekitar masa Pleistosen, masa di mana leluhur manusia paling banyak ditemukan.
Sedikit yang tersisa dari bahan organik (asam amino, peptida) itu terus dilacak untuk material penelitian aDNA-nya.
Analisis DNA kuno (ancient DNA, aDNA) telah menjadi modus penelitian yang semakin populer dalam evolusi manusia.
Pendekatan ini kadangkala rumit oleh sifat terdegradasi dari asam nukleat kuno, kehadiran inhibitor enzim dalam ekstrak aDNA dan risiko kontaminasi selama penggalian atau manipulasi sampel.
Meskipun kesulitan-kesulitan itu seringkali mengiringi, namun berbagai metode telah dikembangkan para ilmuwan beragam disiplin, khususnya minat genetika kuno, untuk mengoptimalkan pemulihan, kajian dan otentikasi aDNA-nya.
DNA Kuno Berbeda dengan DNA Modern
Hal menarik adalah variasi urutan DNA, terutama manusia, karena kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian dengan metode itu dapat menjelaskan lebih luas bagaimana perjalanan evolusi, migrasi dan demografi kita.
Selain itu penelitian ini juga dapat menjelaskan bagaimana DNA kuno berbeda dari DNA modern.
Ini menjelaskan mengapa hanya beberapa penanda genomik tertentu biasanya ditargetkan dan mengapa protokol telah dikembangkan secara eksplisit untuk penelitian laboratoriumnya.
Temuan-temuan hominid terus berlangsung, dari Wajak pada tahun 1888, berikut Kedungbrubus pada tahun 1890, dan beragam situs hominid lain di Jawa sampai sekarang.
Sebagian besar temuan yang tersimpan di Indonesia dikurasi oleh Laboratorium Bioantropologi dan Paleoantropologi Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada.
Mereka berasal dari Sangiran, Sambungmacan, Trinil, Ngandong dan Mojokerto. Di masa lalu mereka diteliti dengan beragam metode, dan hasil-hasilnya terus memuaskan.
Di masa sekarang mereka tetap sebagai fosil-fosil yang diam, namun beragam metode mutakhir dapat menceritakan kehidupannya makin realistis.
Perkembangan piranti dan metode penelitiannya itu makin memperjelas gambaran dari kehidupan masa lampau fosil-fosil hominid itu.
Multidisiplin dan interdisiplin makin niscaya untuk penelitian paleoantropologis, dari dating, CT scan (3D), dan aDNA-nya.(*)