OLEH : RA SUYANTO, Laboratorium Biopaleoantropologi FKKM UGM
PALEONTOLOGI sering disebut sebagai disiplin dalam geologi yang berkonsentrasi temuan-temuan sisa-sisa organisme dari masa lampau.
Temuan itu juga sering dirujukkan sebagai fosil. Bukti paleontologis tidak melulu fosil, namun bisa jejak dan bekas.
Fosil biasanya meliputi sisa-sisa jaringan keras, yakni geligi, belulang, cangkang, plastron dan karapas.
Jejak dapat berupa cetakan-cetakan kaki hewan, jalur-jalur melata reptil dan seterusnya. Bekas dapat berupa feses-feses hewan, rekaman cakaran pada sisa-sisa tulang dan seterusnya.
Fosil pun dapat berupa serangga yang terjebak dalam getah atau ambar. Dari flora, dapat berupa fosil kayu, fosil daun yang terekam dalam batuan.
Proses geologis membuat aneka benda utu mengalami pembusukan, yang tertinggal hanya cetakannya – pembatuan. Jadi selulosanya telah tergantikan silika.
Banyak orang tertarik fosil untuk beragam tujuan. Mereka mengumpulkan dan mengoleksinya karena kelangkaannya atau keindahan bentuknya.
Kedua alasan itu dapat menghadirkan penghasilan. Mereka memburu fosil sebagai materica medica, bahan obat.
Paleontolog GHR von Koenigswald yang bekerja di Jawatan Geologi Hindia Belanda di Bandung pernah terkesima di kawasan toko obat Hong Kong, karena begitu banyaknya ragam fosil dijual sebagai bahan obat.
Baca: Mengapa Manusia Sekarang Tidak Makan Daging Hyena, Jerapah, atau Kuda Sungai?
Di sana pula lah dia mendapatkan geligi yang diidentifikasi sebagai Gigantopithecus sp.
Penelitian Fosil Harus Kontekstual
Minat awam dan perilmu atas fosil makin meningkat saat ini. Sayang kadang menghadirkan sikap tidak bertanggung jawab, baik sebagai tindak pencurian, perdagangan ilegal dan penyelundupan.
Sebagai material penelitian, maka temuan fosil harus kontekstual. Selalu lokasi dan kedudukannya dalam ekskavasi terukur, sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan.
Karena yang berlaku sekarang dalam evolusi adalah teori sintesis yang memanfaatkan segala disiplin yang relevan.
Antara lain paleontologi, paleoekologi, biostratigrafi, geokronologi, paleogeografi, biologi molekuler, paleokimia, biostatistik, antropologi ragawi, paleoantropologi, iknologi, arkeologi dan seterusnya.
Maka aktivitas penelitian atau ekskavasi di lapangan juga memerlukan para ahli beserta metode dan peralatannya itu.
Para ahli dan peralatannya akan makin bertambah saat proses penelitian laboratoriumnya.
Hal sederhana atas aktivitas itu adalah mempertegas teori evolusi yang menyatakan semua organisme yang hidup sekarang pada suatu masa lampau dalam sejarahnya mempunyai moyang yang sama.
Fosil Bisa Jadi Bukti Evolusi
Organisme sekarang mempunyai jenis makin beragam dan kompleks. Di sisi lain, evolusi itu perubahan frekuensi gen dalam suatu populasi karena faktor-faktor evolusi, yakni mutasi, seleksi alam, arus gen, dan genetic drift.
Perubahan frekuensi itu dapat mengubah morfologi/fenotip, fungsi/fisiologis, zona eksploitasi dan taksonomi.
Proses evolusi dapat berbeda dalam skala, tempo dan mode. Proses geologis yang kompleks, termasuk proses taponominya, menjadikan temuan-temuan paleontologis itu juga kompleks untuk bisa dijadikan sebagai bukti evolusi.
Bukti paleontologis itu bisa putus atau tidak lengkap. Sekali lagi fosil bukan sampel yang rambang. Di situlah coba ditemukan sepenggal dan setahap.
Butuh waktu panjang untuk merekonstruksinya. Oleh karena itu temuan fosil baru, khususnya fosil hominid, selalu disambut antusias para ilmuwannya.
Para ilmuwan berlomba ke akses temuan itu untuk menyumbangkan analisis dan publikasinya, tentu juga eksistensinya sebagai ilmuwan, khususnya paleontologi vertebrata dan paleoantropologi.
Mereka yang tidak dapat mengakses karena beragam alasan, cukup menikmati perdebatan dan publikasinya.
Jika temuan itu merujuk sebagai temuan spesies baru, kegaduhan makin meninggi frekuensinya, karena menyangkut eksistensi manusia dalam dunia biologis, di mana kedudukan filogeninya dan dari mana evolusinya.
Sekali lagi, fosil-fosil itu menjadi sumber penelitian, dan dapat menjadi bukti evolusi. Fosil-fosil itu dapat mengandung sisa bahan organik (asam amino, peptida) untuk jangka waktu panjang.
Baca: Menjadi Detektif Feses Hewan Prasejarah dari Situs Sangiran
Keterbatasan kuantitas dan kualitas sisa-sisa itu menyemangati beberapa ilmuwan untuk mengembangkan piranti dan metode penelitian paleontologi, termasuk paleoantropologi. Piranti dan metode penelitian itu meliputi dating, CT Scan (3D) dan aDNA.
Dating geokronologi sudah mampu menghasilkan pertanggalan absolut yang makin akurat dengan rentang umur makin pendek.
Beragam metode dan peralatan lapangan dan laboratorium terus dikembangkan. Dengan kepastian umur geokronologisnya maka kepastian biokronologinya juga makin mantap.
Upaya ini membantu rekonstruksi dan filogeninya, termasuk ekplanasi evolusionernya. Untuk kemantapan hasil itu, seringkali para ilmuwan mengerjakannya lintas laboratorium, bahkan dengan beragam metode.
Penelitian-penelitian paleoantropologis dan evolusi manusia berdasarkan temuan fosil-fosil hominid dan sisa-sisa manusia kuno sampai modern beserta situs-situs dan asosiasi-asosiasinya telah melangkah sangat maju.
Pengukuran Umur Fosil Makin Akurat
Berbagai teknik penentuan umur absolut untuk mengetahui kepurbaannya telah diupayakan terus-menerus oleh para ahli dengan berbagai metode.
Kronometrinya telah mempergunakan Ar/Ar, K/Ar, gamma-ray spectrometric dating dan carbon-oxygen isotope.
Aplikasi teknologi steleolithographic dan 3D juga secara virtual telah berhasil untuk memahami karakteristik-karakteristik morfologisnya secara detail dengan irisan-irisan yang sangat tipis/
Termasuk endokranialnya; serta secara virtual telah mampu untuk memisahkan di antara fosil-fosil tersebut dengan metriks-metriksnya yang masih melekat sangat erat dalam lingkungan komputer.
Aplikasi itu mampu mereproduksi cetakan-cetakannya seakurat fosil-fosil aslinya, baik tanpa maupun beserta metriks-metriksnya.
Contoh projek yang sangat spektakuler adalah rekonstruksi Ardipithecus ramidus, di mana Gen Suwa, seorang kolega dari Tokyo University, mampu menunjukkan tengkorak spesies ini secara utuh dengan aplikasi 3D virtual reconstruction.
Dasarnya, temuan yang kepingan-kepingannya berukuran relatif kecil, tidak beraturan ukuran dan bentuknya, dan beberapa telah rapuh bahkan masih beserta metriksnya.
Dalam lingkungan komputerlah, tengkorak utuhnya diwujudkan, dan selanjutnya dibuat replikanya, dan kemudian berdasarkan ini kepingan-kepingannya disatukan secara nyata.
Sekaligus dalam kerja ini dapat diketahui kapasitas dan sebagian besar morfologi endokranialnya.
Kita akan sulit membayangkan, betapa lama waktu yang harus dibutuhkan untuk mewujudkan bentuknya seperti sediakala jika tanpa bantuan piranti tersebut.
CT (computed tomography) juga telah menjadi alat penelitian yang ideal untuk mengakses struktur internal fosil-fosil berharga yang bervariasi ini tanpa merusak atau bahkan menyentuh mereka.
Metode-metode itu telah diterapkan beberapa peneliti untuk mengevaluasi filogeni dan taksonomi Primates, khususnya hominid oleh para peneliti sebelumnya, menggunakan -metode konvensionalnya untuk memahami evolusinya.
Beberapa kolega dari Amerika dan Swiss telah mengoreksi kesenjangan pemahaman atas filogeni dan taksonomi bonobo (Pan paniscus) terhadap simpanse (Pan troglodytes).
Selama beberapa dekade yang lalu bonobo masih dianggap simpanse paedomorfik (paedomorphic, juvenilized).
Mereka menerapkan 3D virtual reconstruction terhadap 30 tengkorak Pan troglodytes dan 19 tengkorak Pan paniscus secara cross-sectional dengan menggunakan 3D digitized landmarks internal dan eksternal.
Juga menggunakan hasil-hasil CT scan-nya untuk mengetahui ukuran dan bentuk kuantitatifnya dan menerapkan kriteria maturitas gigi untuk memperkirakan umur gigi relatifnya.
Heterokroninya telah dievaluasi dengan menggunakan hubungan kombinasi ukuran-bentuk (allometri) dan bentuk-umur untuk keseluruhan tengkorak, wajah dan tempurung otaknya.
Secara garis besar, hasil analisisnya menunjukkan, tengkorak Pan paniscus relatif paedomorfik terhadap Pan troglodytes untuk komponen utama variasi bentuk yang dikaitkan ukuran (size-related shape variation).
Kemungkinan besar melalui sebuah mekanisme posformasi (paedomorphosis due to initial shape underdevelopment).
Selain itu, hasil ini juga menunjukkan tidak semua aspek perbedaan bentuk di antara dua spesies ini, khususnya pada wajahnya, dapat dikaitkan transformasi heterokronik.
Perbedaan-perbedaan perkembangan yang bersifat tambahan (additional developmental differences) juga harus terjadi selama evolusi mereka.
Aplikasi 3D virtual renconstruction untuk penelitian paleoantropologis yang materialnya berupa sisa-sisa manusia masa lampau, yang umumnya berupa jaringan kerasnya, yakni gigi-gigi dan tulang-tulang.
Makin purba temuan-temuannya, makin terbatas kualitas dan kuantitas fosil-fosilnya. Aplikasi teknologi itu secara virtual telah berhasil untuk memahami karakteristik-karakteristik morfologisnya secara detail.
Muncul irisan-irisan yang sangat tipis, termasuk endokranialnya. 3D virtual renconstruction telah menjadi alat penelitian yang ideal untuk mengakses struktur internal fosil-fosil berharga yang bervariasi itu tanpa merusak atau bahkan menyentuh mereka.
Beberapa spesimen rusak sebagian, sehingga bagian-bagian yang hilang direkonstruksi di lingkungan komputer untuk mendapatkan estimasi dari volume otak dan morfologi endocranialnya, kedua bidang utama yang sangat menarik dalam antropologi biologis.
Kepentingan penguasaan teori dan metodologi demikian dapat memberikan beberapa keuntungan.
Antara lain bank data rekonstruksi fosil-fosil virtual, penggunaan endocasts (cetakan rongga dalam) untuk menjelaskan morfologi otak, analisis biomekanik distribusi tulang-belulang, citra dari mumi.
Juga penelitian tentang kesehatan manusia purba, dan penelitian mikroanatomi tulang-tulang dan gigi-gigi.
Aplikasinya juga mampu untuk memahami makin sempurna biomekanika atas tinggalan sisa-sisa jaringan keras paleozoologis dan paleoantropologis, serta rekonstruksi wajah untuk kasus-kasus antropologi atau arkeologi forensik.
Tatkala kita merekonstruksi sebuah fosil secara digital, maka di sini kita dapat membalik urutan prosesnya karena merupakan kerja di lingkungan komputer yang sengaja prosesnya dapat dibuat dan diatur oleh para peneliti.
Teknik pencitraan ini di dalam keperluan medis memungkinkan visualisasi struktur-struktur morfologi internal, yang sebelumnya tidak dapat diakses untuk analisis morfometrik dan biomekanik.
Karena fosil-fosil manusia purba sangat langka, maka mustahil menggunakan teknik yang sangat merusak dalam kerangka studi morfologis lengkapnya.
Analisis-analisis tradisional hanya dapat mengandalkan informasi-informasi yang diperoleh dari studi morfologis eksternal spesimennya, dan ini sungguh membatasi pendekatan studi evolusi manusia.
Metode-metode berbasis komputer itu memiliki kesamaan mereka tidak akan merusakkan fosil-fosil yang sedang ditangani karena aktivitas ini hanya berlangsung dalam lingkungan komputer saja.
Walaupun penelitian DNA masih sulit untuk temuan-temuan paleontologis terpurba, kemajuan penelitian-penelitiannya makin mengesankan khususnya di sekitar masa Pleistosen, masa di mana leluhur manusia paling banyak ditemukan.
Sedikit yang tersisa dari bahan organik (asam amino, peptida) itu terus dilacak untuk material penelitian aDNA-nya.
Analisis DNA kuno (ancient DNA, aDNA) telah menjadi modus penelitian yang semakin populer dalam evolusi manusia.
Pendekatan ini kadangkala rumit oleh sifat terdegradasi dari asam nukleat kuno, kehadiran inhibitor enzim dalam ekstrak aDNA dan risiko kontaminasi selama penggalian atau manipulasi sampel.
Meskipun kesulitan-kesulitan itu seringkali mengiringi, namun berbagai metode telah dikembangkan para ilmuwan beragam disiplin, khususnya minat genetika kuno, untuk mengoptimalkan pemulihan, kajian dan otentikasi aDNA-nya.
DNA Kuno Berbeda dengan DNA Modern
Hal menarik adalah variasi urutan DNA, terutama manusia, karena kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian dengan metode itu dapat menjelaskan lebih luas bagaimana perjalanan evolusi, migrasi dan demografi kita.
Selain itu penelitian ini juga dapat menjelaskan bagaimana DNA kuno berbeda dari DNA modern.
Ini menjelaskan mengapa hanya beberapa penanda genomik tertentu biasanya ditargetkan dan mengapa protokol telah dikembangkan secara eksplisit untuk penelitian laboratoriumnya.
Temuan-temuan hominid terus berlangsung, dari Wajak pada tahun 1888, berikut Kedungbrubus pada tahun 1890, dan beragam situs hominid lain di Jawa sampai sekarang.
Sebagian besar temuan yang tersimpan di Indonesia dikurasi oleh Laboratorium Bioantropologi dan Paleoantropologi Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada.
Mereka berasal dari Sangiran, Sambungmacan, Trinil, Ngandong dan Mojokerto. Di masa lalu mereka diteliti dengan beragam metode, dan hasil-hasilnya terus memuaskan.
Di masa sekarang mereka tetap sebagai fosil-fosil yang diam, namun beragam metode mutakhir dapat menceritakan kehidupannya makin realistis.
Perkembangan piranti dan metode penelitiannya itu makin memperjelas gambaran dari kehidupan masa lampau fosil-fosil hominid itu.
Multidisiplin dan interdisiplin makin niscaya untuk penelitian paleoantropologis, dari dating, CT scan (3D), dan aDNA-nya.(*)