Oleh: Dr. Akbar Faizal, M. Si.
Direktur Eksekutif Nagara Institute
TRIBUNNEWS.COM - DPR telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Mahkamah Konstitusi.
Nagara Institute mengkritisi RUU ini sebagai bentuk pengelolaan manajemen pembuatan UU yang masih kusut.
RUU ini sekali lagi menunjukkan model kerja DPR dalam hal penyusunan produk perundang-undangan yang tak menunjukkan kriteria yang jelas dan baku.
Tak cukup alasan untuk tergesa membahas pengajuan RUU ini jika dikaitkan dengan problem yang ingin diatasi sebagai alasan utama pengakuan RUU ini.
Substansi RUU MK ini tak berkaitan dengan isu strategis yang faktual terjadi di masyarakat.
Kesan ketergesaan pengajuan dan pembahasan RUU ini sebagai sebuah akrobat legislasi.
Baca: DPR Sahkan RUU MK Jadi Undang-Undang, Ini Kata Pengamat
RUU ini tidak termasuk dalam list prioritas pada Prolegnas.
Lalu ada apa dibalik semua ini?
Publik selanjutnya bertanya-tanya tanpa tahu harus kemana untuk mencari kepastian informasinya.
Justru yang muncul adalah tudingan terjadinya ‘tukar guling’ menyangkut beberapa produk UU strategis di masa mendatang.
Semisal, gugatan terhadap UU Minerba atau pengamanan Omnibus Law dalam RUU Ciptaker.
Mempelajari draft RUU ini, kita menemukan bahwa substansi masalah yang ingin direvisi tak jauh berbeda dengan draft RUU sebelumnya yang masih berputar di wilayah administrasi, pengisian jabatan hakim dan periodisasi.
Pengajuan menu lama ini menandakan para pembentuk Undang-Undang kehilangan kreativitas dalam menggali masalah yang ada di MK khususnya mengenai hukum acara dan kewenangan MK.