News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Anjay! Teriak Si Bisu Lewat Streaming

Editor: Yudie Thirzano
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kata Anjay menjadi perbincangan seru di media sosial dan berita media online. Banyak yang berpendapat sebenarnya kata ini berasal dari kata kasar yang diplesetkan agar terdengar lebih halus

Oleh Xavier Quentin Pranata, pelukis kehidupan di kanvas jiwa.

TRIBUNNEWS.COM - Tidak ada yang aneh dari judul di atas. Pertama, kata ‘anjay’ tidak ada di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kecuali bisa jadi kamus gaul anak zaman now.

“Kata dalam bahasa gaul yang biasanya digunakan untuk menyampaikan ekspresi kekaguman, kaget dan tertarik. Banyak yang berpendapat sebenarnya kata ini berasal dari kata kasar yang diplesetkan agar terdengar lebih halus.” (lectur.di) Kata ini punya ‘sinonim’ anjrit, bahkan ‘anjim’ ini punya mosaik makna sesuai siapa yang memandang melalui jendela kaca patri itu.

“Kata ‘anjay’ diusulkan dilarang dipakai,” ujar saya kepada anak bungsu saya saat sama-sama nonton podcast. “Padahal, artinya bisa ‘keren’ lho Pa,” sahut si bungsu cuek. Bisa jadi, dia memakai definisi ‘ekspresi kekaguman’.

Kedua, mana bisa si bisu berteriak? Benar kalau kita memaknainya secara letterlijk atau harafiah. Namun, jika si bisu berarti semua kita yang sebenarnya mampu bicara tetapi dibuat tidak bisa bahkan karena apatis akhirnya tidak mau, bukankah itu jadi masuk akal? Kata ‘teriak’ pun tidak harus secara nyaring dibunyikan, tetapi lewat medsos.

Baca: Klarifikasi Lutfi Agizal soal Kata Anjay, Sudahi Pro Kontra hingga Permintaan Maaf

Saya pernah menegur seorang mahasiswa yang memakai status ‘ta*k’ di WA-nya. Saat saya tegur, dia berkata, “Saya tidak bermaksud kasar kepada semua orang Pak Xavier,” ujarnya, “saya hanya jengkel sekali dengan Papa saya.” Saat saya jelaskan bahwa kejengkelan dengan seseorang tidak semestinya diumbar ke media sosial seperti itu dia buru-buru menghapus statusnya.

Ketiga, lewat streaming. Saat pagebluk menggebuk dunia, bahkan Indonesia lebih dari setengah tahun dan diperkirakan bakal berlanjut sampai melewati tahun 2020 ini, gebukannya membuat banyak orang puyeng, bahkan KO. Untuk menghindari tatap muka dan kerumunan, protokol kesehatan untuk physical distancing membuat online semakin on saja.

Saat perusahaan lain menggelapar, mereka yang bergerak di bidang internet dan hiburan via streaming justru makin berkibar. Netflix, misalnya, diberitakan meraup untung amat besar justru di masa pandemi seperti ini. Hal ini juga memicu hati pilu rasa empedu. Kasus RCTI menggugat UU Penyiaran pun jadi viral. Maklum, banyak YouTuber bisa terganggu. Apa masalah yang paling menukik? Dugaan para pakar yang ramai di media sosial, jika pundi-pundi terganggu, siapa pun bisa naik darah karena perusahaannya kekurangan darah.

Menjinakkan Kuda

Saat tugas bicara di luar negeri, di waktu jeda, saya pakai untuk ikut pelatihan menjadi cowboy. Karena sifatnya informal, maka pelatihan pun dilakukan secara santuy (bahasa apa lagi ini?) Dari reception area, setiap peserta dibawa ke base camp dengan traktor dengan alas duduk jerami. Meskipun ada yang merasa risih dan gatal, kami semua merasakan kegembiraan karena bisa lepas dari kepenatan rutinitas.

Di training center berupa padang penggembalaan terbuka, kami duduk bertingkat di sebuah arena. Di tengah ada seorang cowboy beneran mengajarkan cara menggunakan cambuk dan laso. “Daerah inilah  yang paling peka dari seekor kuda,” ujarnya sambil menunjuk bawah telinga. “Anda hanya perlu menyentuh secara halus bagian ini maka kuda akan tahu apakah dia harus belok ke kanan atau ke kiri.”

Dia lalu meminta setiap orang untuk maju dan mencoba menggerak-gerakkan cambuk seperti yang dia ajarkan. Karena saya mendapat giliran pertama, saya berkata, “Saya mau melihat dulu.” Cewek pirang di sebelah kiri saya langsung maju dengan senyum mengejak ke arah saya yang saya artikan, “Begitu saja tidak berani!” Saat dia mengayun-ayunkan cambuknya, ternyata ujung cambuknya justru menghajar matanya sendiri.

Terus-terang, saya tidak berani tertawa, meskipun secara reaktif ingin melakukannya. Saya tidak ingin tertawa di atas penderitaan orang lain. Ini bahasa halusnya. Bahasa kasarnya, saya tidak ingin balas dendam. Bisa jadi cewek itu marah dan mengayunkan cambuknya ke arah saya. Yang terakhir ini tentu hanya imajinasi saya yang tidak mungkin terealisasi.

Setelah itu ada pelajaran cara melemparkan laso, mula-mula di tonggak kayu diam secara bertahap mencoba melakukannya ke kuda beneran yang bergerak dengan lincah. Ada juga permainan duduk di atas kuda kayu yang terus bergerak cepat dan melonjak-lonjak. Untuk rodeo semacam ini saya memilih untuk tidak berpartisipasi daripada terjatuh dan tidak bisa pulang ke tanah air.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini