Pelajaran dari padang penggembalaan yang paling saya ingat hari ini adalah ucapan si cowboy anjay, eh gahar. “Untuk menangkap kuda liar, pakai kuda jinak sebagai pancingan. Setelah dikumpulkan dan dilatih, kuda-kuda liar ini siap untuk dipakai membantu manusia, khususnya di peternakan.”
Meliarkan Orang Utan
Perburuan liar mengakibatkan banyak orang utan ditangkap untuk dipelihara. Para pecinta binatang lebih suka orang utan tetap berada di hutan. Itu memang pemikiran waras. Namun, apa saja yang berbau komoditas—termasuk memperjualbelikan mawas—tetap marak. Usaha untuk mengembalikan orang utan ke habitat aslinya, yaitu hutan, dilakukan oleh LSM pecinta alam dan lingkungan.
Salah satu kendala untuk mengembalikan orang utan ke hutan adalah masalah adaptasi. Karena sudah terbiasa bersinggungan dengan manusia, dia ‘lupa’ cara mencari makanan sendiri. Oleh sebab itu, mereka ditempatkan di sebuah hutan lindung dan untuk sementara waktu dipasok makanan yang secara berkala dikurangi agar bisa lepas dari ketergantungan dengan manusia.
Mengendalikan Diri Sendiri
Kita bisa saja menjadi kaisar atau raja besar yang mengendalikan jutaan orang. Pertanyaannya, apakah orang dengan kuasa sebesar itu bisa mengendalikan diri sendiri? Raja Salomo yang dianggap sebagai orang paling bijak di atas muka bumi pun, kesulitan melakukan hal ini sehingga mempunyai banyak sekali istri. Alkitab mencatat raja kaya raya ini memiliki tujuh ratus istri dari kalangan bangsawan dan tiga ratus gundik. Sejarah mencatat justru istrinya yang banyak itulah yang membuatnya jatuh.
Manusia yang dianggap ‘sepupu jauh’ dari primata (saya tidak setuju) mempunyai naluri hewan di dalam dirinya. Nafsu ‘liar’ itulah yang membuat manusia tidak bisa dikungkung, dalam sangkar emas sekalipun. “Asal ada makanan dan tempat tinggal yang layak, orang tidak neko-neko,” ujar seorang sahabat yang lalu memberikan contoh Singapura. Negara tetangga ini dianggap tidak demokratis tetapi rakyatnya damai karena berkecukupan. Hongkong yang dianggap negara maju pun ternyata tidak serta merta jadi ‘anak baik’. Buktinya gelombang demonstrasi terus-menerus terjadi karena tidak mau didikte RRT.
Bagaimana dengan kita orang Indonesia? Setelah lepas dari orde baru, benarkah kita memasuki orde reformasi? Pembatasan tetap ada agar kita tidak benar-benar liar seperti hewan, bahkan primata sekalipun. Jalan raya yang tidak ada rambu-rambu lalulintasnya justru membuat tabrakan makin parah. Pada hakikatnya, pengawasan melekat—mengendalikan diri sendiri—itulah kuncinya. Generasi milenial yang dilarang memakai kata ‘anjay’ justru mengumbarnya di mana-mana. Apalagi bagi mereka, ‘anjay’ bisa bermakna ekspresi kekaguman. Entah yang lain.
Berteriak dalam Diam
Seorang bocah laki-laki yang duduk di kursi belakang mobil terus berdiri dan mengomentari setiap hal yang dia lihat di jalan. Sang ayah—yang merasa terganggu dan tidak bisa berkonsentrasi menyetir—membentaknya, “Jika kamu tidak duduk diam, Papa turunkan di sini.”
Bocah itu memang diam, tetapi wajahnya cemberut. “Apa yang hendak kamu katakan?” tanya sang ayah yang tidak tahan dengan suasana hening yang mencekam itu.
“Secara fisik aku memang duduk, tetapi otakkku berdiri dan mulutku berteriak!” seru anaknya dari belakang.
Bocah itu mewakili setiap orang yang merasa diikat fisiknya dan diplester mulutnya. Inilah teriakan mereka dalam bisu: “First they teach you to talk, then they teach you to walk, and as soon as you learn how to do both, they tell you to sit down and be quiet.”
Saat kebebasan bicara terbelenggu—atau merasa dibatasi—eufemisme dan penggunaan istilah baru akan selalu bermunculan. Santuy aja. You memang anjay.
*Xavier Quentin Pranata, penulis buku