Ketika kepemimpinan tampak jelas berorientasi pada kepentingan publik, maka pada saat itulah kepercayaan publik yang terkonsolidasi.
Sebaliknya, ketika kepemimpinan mulai menonjolkan kepentingan privat, apakah pribadi, keluarga maupun kelompok, maka pada saat itulah, grafik kepercayaan publik menurun, bahkan mungkin akan melaju sampai ke titik nol.
Perjalanan bangsa sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, memperlihatkan dengan sangat jelas suatu stabilitas politik yang sepenuhnya mengandalkan kepercayaan publik, merupakan hal sangat sulit dicapai.
Karena itu, selalu muncul godaan untuk mengambil jalan pintas. Dimaksudkan jalan pintas di sini adalah jalan pemusataan kekuasaan politik dan hukum.
Ujung Orde Lama, merupakan bentuk kongkret semua kekuasaan ada di tangan satu orang. Ujung Orde Baru, dalam formatnya yang berbeda, pada dasarnya memuat substansi yang sama, yakni otoritarianisme dan sentralisme.
Watak tersebut langsung nampak dari wajah Orde selanjutnya, yang ditandai dengan demokratisasi (pers bebas, kebebasan berorganisasi, pemilu, dan lain-lain) dan desentralisasi, serta masalah KKN.
Kini, demokrasi paska Orde Baru, telah melahirkan tiga kali pemilu Presiden, yang dapat dikatakan ruang kesempatan bagi pemusatan kekuasaan telah menjadi semakin sempit.
Oleh karena yang menjadi pertanyaan besar kita adalah bagaimana membatasi segala potensi yang memungkinkan diambilnya jalan pintas dalam membangun stabilitas politik.
Mungkinkan sepenuhnya dihadirkan suatu kepemimpinan publik? Pertanyaan ini sangat layak untuk diajukan, mengingat bangsa membutuhkan stabilitas yang sesungguhnya, agar seluruh agenda bangsa dapat dijalan secara baik, sehingga citacita bangsa dapat diwujudkan menjadi kenyataan dalam kehidupan sehari-hari.
Kebutuhan akan stabilitas, didasarkan pada kenyataan instabilitas (politik) telah menjadi bagian dalam perjalanan bangsa.
Karena itulah, kita diperlukan suatu konsepsi baru menyangkut stabilitas, yang dalam hal ini hendak kita mengerti sebagai keadaan politik yang ditandai dengan bekerjanya kepemimpinan publik.
Adapun kepemimpinan publik, adalah wujud kepemimpinan yang: (1) dalam segala seginya berorientasi pada kepentingan dan keselamatan publik; (2) dalam segala tindak-tanduknya didasarkan pada nilai-nilai keutamaan; (3) dalam bekerja senantiasa mengandalkan ilmu; (4) mengerti sejarah secara baik; dan (5) mempunyai visi yang kongruen dengan cita-cita publik.
Untuk mendapatkannya, diperlukan dua langkah sekaligus, yakni pada satu sisi menjaga agar jangan sampai jalan pragmatik-transaksional, sehingga stabilitas politik dibangun di atas tiang yang rapuh, dan di sisi yang lain melebarkan ruang kesempatan bagi mereka yang mampu mengemban kepemimpinan publik untuk dapat masuk arena dan mengabdi.(*)
*) Disampaikan pada Acara Launching Buku Reinventing Indonesia “Menata Ulang Bangsa”, 23 September 2020 di Jakarta