OLEH : SUDIRMAN SAID, Ketua Institut Harkat Negeri
PROF Ginandjar Kartasasmita dan Dr Joseph J Stern, lewat bukunya yang menantang, “Reinventing Indonesia, Menata Ulang Bangsa”, mengajak kita melakukan refleksi dan sekaligus menatap jauh ke masa depan.
Jika dilihat dari susunannya, di mana pembahasan dimulai uraian singkat proses yang berlangsung selama enam dekade, dari 1945 sampai 2004, dan disusul penjelasan lebih rinci pada setiap tahapannya, maka dapat dikatakan buku ini hendak mengajak publik untuk melihat kembali perjalanan republik.
Memeriksanya dengan cermat, agar diperoleh apa yang dipandang sebagai segi-segi positif, dan apa yang dapat dikatakan sebagai segi-segi negatif.
Ginandjar Kartasasmita, merupakan pelaku, sehingga keterangannya, tidak hanya berbobot sebagai “hasil pengamatan”, akan tetapi juga punya bobot “kesaksian” pelaku. Pelajaran apa yang dapat diambil? Ulasan ini, hendak menelusurinya dari pintu kepemimpinan.
Keluar dari Krisis
Para perintis kemerdekaan, adalah mereka (pribadi-pribadi) yang mengerti apa yang telah terjadi pada bangsanya, punya gambar masa depan bangsanya, dan tahu apa yang harus dilakukan, untuk menyelamatkan bangsa, agar bangsa dapat mencapai cita-cita luhurnya.
Lembaran sejarah mencatat: (1) secara internal, keadaan bangsa demikian terpuruk, akibat ekonomi perang yang dijalankan oleh pemerintah Balatentara Jepang; dan (2) secara eksternal, tengah berlangsung perang dunia II, yang jika boleh disederhanakan, merupakan konflik antara antara kekuatan “fasis” dan kekuatan “demokrasi”.
Jejak teks konstitusi, menunjukan para perintis, telah memilih merdeka, dan menata kemerdekaan dengan tata republik yang berkedaulatan rakyat. Jatuh bangun pemerintahan, menghiasi perjalanan bangsa, dan kemudian, suatu “stabilisasi” diadakan, melalui apa yang dikenal sebagai kembali ke UUD’45.
Tentu keputusan yang diambil telah melalui pertimbangan yang masak, terlebih karena keputusan tersebut memuat perubahan yang mendasar, yakni tampilnya konsep “keterpimpinan” terhadap semua segi kehidupan negara, tidak terkecuali ekonomi.
Hal yang segera hadir adalah manuver politik yang intens – baik dalam makna konsolidasi kekuatan-kekuatan politik yang mendukung pemerintah maupun penyingkiran terhadap oposisi, kebijakan ekonomi terpimpin – yang membuat keadaan ekonomi morat-marit, dan tentu kehidupan rakyat makin tertekan, bahkan kebutuhan pokok menjadi barang langka, sulit didapatkan (p.13).
Dari sudut pandang masa kini, keadaan tersebut dapat dikatakan merupakan suatu krisis, dan keadaan itu pula yang telah membuka ruang kesempatan untuk suatu gagasan baru dan sosok-sosok baru. Babak berikutnya adalah penataan, setelah keadaan relatif dapat distabilisasi, dengan arah utama – sejauh yang tampak, adalah reformasi ekonomi.
Term “reform” penting untuk ditonjolkan untuk membedakannya dengan langgap periode sebelumnya, dan lembaran baru memiliki concern yang kuat pada kesanggupannya untuk mengeksekusi keputusan politik secara baik.
Apakah suatu gagasan besar akan tetap tinggal sebagai suatu gagasan, ataukah dapat bertransformasi menjadi kebenaran nyata dan bermanfaat dalam kehidupan warga, akan ditentukan oleh tindakan implementasi yang terukur dan kemampuan untuk mengendalikan syarat-syarat politik yang dibutuhkan, agar langkah tersebut punya dasar pembenar.