Keraguan banyak ilmuwan paleontologi/ paleoantropologi/ arkeologi prasejarah barat lain yang sanggup dijelaskan dengan argumentasi jernih oleh Jacob, antara lain tentang asal-usul bertutur dan kanibalisme pada Homo erectus Jawa.
Petunjuk Homo erectus mampu bertutur hanya berupa bukti tengkorak fosilnya yang relatif fragmenter dan tidak lengkap. Banyak fosil tengkorak Homo erectus Jawa yang sudah kehilangan basisnya karena proses taphonomisnya.
Bukti kemampuan bertutur dapat dilihat pada jejak-jejak groove dan sinus di bagian dalam tengkoraknya.
Saat ini fosil-fosil tengkorak itu makin mudah diamati dan dianalisis bagian dalam tengkoraknya – baik tanpa matriks maupun masih terisi matriks – dengan 3D CT scan, dan dapat dicetak 3D reconstruction-nya untuk analisis morfologis lanjut otaknya.
Kemampauan bertutur mereka juga ditunjukkan oleh bentuk dan posisi foramen magnum (lubang pada basis tengkorak yang berhubungan dengan leher).
Foramen magnum mereka belum membundar dan masih dalam posisi relatif posterior (seperti pada fosil tengkorak Homo erectus Ngandong).
Karena itu tenggorokannya terhadap mulut dan hidung belum tegak lurus seperti “huruf L terbalik”, tetapi masih relatif melengkung seperti tenggorokan anak-anak yang baru mampu berbicara.
Pada individu hidup tenggorokan ini terletak di belakang mulut di bawah lubang hidung berbentuk seperti tabung berotot yang dapat menjadi saluran distribusi makanan dan udara.
Organ ini terbuat dari otot, dan bagian bawah bercabang menjadi dua saluran yang lebih kecil, yakni esofagus atau kerongkongan dan laring. Organ ini merupakan bagian dari sistem pernapasan sekaligus sistem pencernaan.
Bagian teratasnya adalah nasofaring, berikutnya orofaring dan terbawahnya hipofaring atau laringofaring. Nasofaring dan laringofaring merupakan bagian dari sistem pernapasan, sedangkan orofaring berperan pada sistem pencernaan maupun pernapasan.
Dengan kondisi itu kita dapat mendeskripsikan bahwa Homo erectus masih sangat terbatas bertuturnya. Komunikasi mereka menggunakan bahasa oral dengan masih banyak bantuan bahasa isyarat.
Jacob menyebut Homo erectus Jawa masih dalam kemampuan protobahasa. Secara berseloroh saya dapat mengatakan Homo erectus itu sedikit bicara banyak kerja; sebaliknya Homo sapiens seperti kita makin banyak bicara sedikit kerja.
Argumentasi Jacob tetap berlandaskan paradigma osteologis-anatomis dan biologi populasional terhadap adanya dugaan kanibalisme pada Homo erectus Jawa yang dilontarkan oleh banyak ilmuwan paleontologi/ paleoantropologi/ arkeologi prasejarah barat.
Yaitu terkait banyaknya fosil tengkoraknya yang sudah tidak memiliki basis kranial, dan masih berlangsungnya tradisi kanibalisme di beberapa etnis di Indonesia kala itu.(*)
*) Anak akademis, kolega junior, staf dan ajudan yang selalu mengenangmu.
**) Mengenang Prof Dr T Jacob MS, MD, DSc, pionir dan begawan paleoantropologi Indonesia (6 Desember 1929 – 17 Oktober 2007)