Oleh: Dr H Sumaryoto Padmodiningrat MM*
TRIBUNNEWS.COM - Ironis, memang. Menyoal peran pemuda di hari Sumpah Pemuda. Itulah yang dilakukan Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Presiden ke-5 RI.
Saat menyampaikan pidato virtual dalam peresmian sejumlah kantor PDIP di daerah, Rabu (28/10/2020), atau bertepatan dengan peringatan ulang tahun ke-92 Hari Sumpah Pemuda, Megawati menyentil Presiden Joko Widodo yang ia nilai memanjakan kaum milenial, sebutan untuk kaum pemuda saat ini. Mega kemudian mempertanyakan sumbangsih (kontribusi) milenial bagi bangsa dan negara saat ini. "Masak hanya berdemonstrasi saja?" tanya Mega.
Mega, dan juga kita semua, memang patut kecewa terhadap oknum-oknum kaum muda yang bertindak anarkis dalam aksi demonstrasi menolak Undang-Undang Cipta Kerja di Jakarta pada 8 dan 13 Oktober 2020. Tapi masak iya sampai hati mempertanyakan sumbangsih kaum milenial terhadap bangsa ini?
Bila yang dipersoalkan adalah oknum-oknum pemuda yang bertindak anarkis dalam demonstrasi, memang sudah pada tempatnya. Akibat aksi anarkis itu, sekitar 50 halte bus Transjakarta rusak parah sehingga untuk perbaikan butuh anggaran Rp 65 miliar. Ini uang negara yang melayang sia-sia.
Tapi bila yang dipersoalkan aksi demonstrasinya, tentu bukan pada tempatnya. Sebab, kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum dilindungi konstitusi, yakni Pasal 28 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, dan juga UU No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Bila yang dipersoalkan adalah peran kaum milenial di kabinet dan "inner cycle" Jokowi yang tak kunjung melakukan gebrakan, bahkan ada yang undur diri karena terindikasi bermain proyek, itu juga masih pada tempatnya.
Tapi jika yang dipersoalkan adalah peran pemuda secara umum, itulah yang justru patut dipersoalkan.
Kalau bukan karena kontribusi pemuda, tentu tak akan lahir gerakan kebangkitan nasional melalui Budi Utomo pada 20 Mei 1908.
Kalau bukan karena kontribusi pemuda, tentu tak akan ada Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.
Kalau tak ada peran pemuda "menculik" Bung Karno dan Bung Hatta dari Jakarta ke Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat, belum tentu ada Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.
Kalau tak ada peran pemuda dan mahasiswa dalam demonstrasi Mei 1998, mungkin rezim Orde Baru tak pernah tumbang, dan tak bisa pula menaikkan Megawati ke tampuk pimpinan nasional, sebagai wakil presiden dan kemudian presiden.
Itu dulu. Kini, kontribusi kaum milenial bagi bangsa dan negara tak kalah penting. Perusahaan-perusahaan rintisan atau "start-up" berbasis digital yang berkembang pesat dan berkontribusi besar bagi perekonomian Indonesia saat ini, tak lepas dari peran kaum milenial.
Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat, "start-up" digital di Indonesia akan mencapai US$ 130 miliar atau Rp 1.831 triliun pada 2020. Ini akan berkontribusi sebesar 11% terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Nama Indonesia harum di percaturan internasional, baik lewat olah raga maupun sains, itu juga tak lepas dari peran kaum milenial.
Kalau sudah begini, patutkah sumbangsih kaum milenial bagi bangsa dan negara dipertanyakan?
"Beri aku sepuluh pemuda, maka akan kuguncang dunia," kata Bung Karno yang bertolak belakang dengan ucapan Megawati.
Ujian Pilkada
Seperti pada kasus "slip of tongue" (keseleo lidah) Puan Maharani, Ketua DPR RI yang juga Ketua DPP PDIP, soal Provinsi Sumatera Barat yang "belum" Pancasilais, beberapa waktu lalu, kini elite-elite PDIP pun sibuk menjelaskan duduk persoalan, kalau tak bisa disebut meluruskan, sentilan Megawati terhadap kaum milenial itu.
Megawati, kata mereka, bermaksud baik, yakni berharap agar generasi muda atau kaum milenial tak hanya menuntut sesuatu kepada negara, tetapi juga bisa bekerja keras memajukan bangsa.
Agaknya kita semua alpa bahwa peran pemuda sangat vital bagi bangsa dan negara. Pemuda adalah tulang punggung bangsa. Pemuda adalah agen perubahan.
Pemuda, dari sisi kuantitas, juga sangat diperhitungkan suaranya dalam politik elektoral seperti Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 yang akan digelar serentak pada 9 Desember nanti di 270 daerah di Indonesia.
Tentu ucapan Megawati soal milenial tersebut akan menjadi ujian tersendiri bagi PDIP, apakah calonnya akan dipilih kaum milenial atau tidak.
Di pihak lain, ada paradoks ketika PDIP dan Megawati banyak mengusung tokoh muda dalam Pilkada 2020. Apakah ini bisa ditafsirkan bahwa sesungguhnya Megawati masih menaruh kepercayaan kepada kaum milenial?
Kaum milenial tercatat sebagai pemilih terbesar, yakni 37,7% pada Pemilu 2019. Sedangkan pemilih pemula sebanyak 12,7%. Artinya, gabungan kelompok pemilih muda ini lebih dari setengah jumlah pemilih di Indonesia.
Di setiap pilkada, angka pemilih milenial maupun pemula memang rata-rata mencapai 60% atau yang terbanyak dibanding pemilih kategori lain seperti pemilih perempuan maupun pemilih dewasa.
Dalam Pilkada 2020, PDIP mengajukan banyak calon dari kalangan kaum milenial, seperti Gibran Rakabuming Raka di Kota Surakarta, Bobby Nasution di Kota Medan, dan Rahayu Saraswati di Kota Tangerang Selatan. Logikanya, dengan popularitas dan sumber daya politik yang ada, mereka akan terpilih.
Ataukah suara mereka justru akan tergerus oleh ucapan Mega itu? Biarlah waktu yang mengujinya. Yang jelas, ketika kaum tua sudah kurang bijak, maka justru kaum mudalah yang harus lebih bijak. Jadikan sentilan Mega itu sebagai tantangan bagi kaum milenial untuk lebih banyak berkontribusi bagi negeri tercinta ini. Semoga!
*Penulis: Dr H Sumaryoto Padmodiningrat MM: Anggota DPR RI Periode 1999-2004, 2004-2009 dan 2009-2014.