News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Mental Korup dan Revolusi Mental

Editor: Setya Krisna Sumarga
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketua KPK Firli Bahuri memberikan keterangan kepada wartawan saat konferensi pers penetapan tersangka Menteri Sosial Juliari P Batubara di gedung KPK, Jakarta, Minggu (6/12/2020). KPK resmi menahan Juliari P Batubara atas dugaan menerima suap terkait pengadaan bantuan sosial penanganan COVID-19 di Kementerian Sosial usai Operasi Tangkap Tangan (OTT) pejabat Kemensos. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN

OLEH : DWI MUNTHAHA, Peneliti di Bhuminara Institute, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional

Dwi Munthaha, peserta Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta, menyimpulkan Omnibus Law bisa menimbulkan dampak kompleks. (Koleksi Pribadi Dwi Muntaha)

"SAYA kira pemberantasan korupsi itu harus dimulai dari mental. Jadi mau sebagus apa sistem, seketat apa sistem, kalau mentalnya udah bobrok ya tetep aja korup, ya," kata Juliari Batubara di momen Hari Antikorupsi Sedunia, 9 Desember 2019.

Menjelang perayaan hari yang sama setahun setelah itu, Juliari Batubara menjadi tersangka kasus bantuan sosial (Bansos) Covid -19. 

Apa yang diucapkan oleh Menteri Sosial Republik Indonesia itu menjadi kenyataan. Mentalitas yang disebut juga menyasar pada dirinya sendiri.  

Saat itu dia menyebutkan perlunya perubahan mental, frasa ini mengingatkan kita pada Revolusi Mental yang pernah diucapkan Presiden Joko Widodo kala mencalonkan diri sebagai kandidat Presiden di 2014.

Di sebuah koran nasional, Joko Widodo menulis pandangan kritisnya  tentang mentalitas korup dan beberapa permasalahan lain  yang mengancam eksistensi Indonesia sebagai sebuah bangsa.

“Apabila kita gagal melakukan perubahan dan memberantas praktik korupsi, intoleransi, kerakusan, keinginan cepat kaya secara instan, pelecehan hukum, dan sikap oportunis, semua keberhasilan reformasi ini segera lenyap bersama kehancuran bangsa (Joko Widodo,2014).

Korupsi sebagai virus yang mengancam hidup sebuah bangsa, pada kenyataan memiliki tautan sejarah panjang di negeri ini,  bahkan jauh sebelum masa kemerdekaan. 

Penguasa-penguasa feodal masa lalu di nusantara, meletakkan korupsi dengan terminologi saat ini, sebagai bagian dari kekuasaanya.  

Saat pemerintahan kolonial mengambil alih kekuasaan, korupsi tetap tumbuh subur berkelindan dengan kepentingan penguasa-penguasa feodal lokal. Dari sanalah korupsi menjadi bagian budaya kekuasaan.

Belum berkuasa seseorang jika tidak mampu melakukan korupsi, dan jika terbukti hanya kekuasaan itu sendiri yang mampu menolongnya.

Ketika kasus itu masih dipermasalahkan, maka  orang tersebut masih belum absolut kekuasaannya. Dua abad yang lalu sudah populer adagium tentang kekuasaan dan korupsi.

Lord Acton mengatakan, Power tends to corrupt, absolut power corrupt absolutely.  Praktik korupsi sudah jauh lebih lama terjadi, hingga dalam kaitan normatif struktural di sebuah negara, dibutuhkan berbagai peraturan untuk mencegahnya.

Cornelius Tacitus seorang Senator Romawi, di abad pertama masehi sudah menyebut,  Corruptissima re publica plurimae leges (semakin korup sebuah negara, akan semakin banyak undang-undang).

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini