News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Melawan Stunting dengan Biskuit Kelor

Editor: Anita K Wardhani
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

daun kelor

Oleh Nasihin Masha

TRIBUNNEWS.COM - Daun kelor memang sedang booming. Pohon kelor dikenal mudah ditanam. Kandungan gizinya sangat tinggi.

Biasanya daun kelor ini untuk dimasak atau dijadikan teh. Namun kali ini bisa dibuat biskuit untuk anak-anak yang kekurangan gizi dan untuk memperbaiki jaringan usus anak-anak yang rusak.

Nah, berbeda dengan daun kelor yang dikonsumsi langsung, kali ini biskuit kelor tersebut telah melalui sebuah riset yang panjang dan telah diujicobakan.

Problem stunting yang kini masih dihadapi Indonesia, juga bisa diselesaikan melalui biskuit ini.

Eva Jeumpa Soelaeman saat ujian desertasu menjadi doktor pertama dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada 2021 ini. (istimewa)

Solusi ini diungkapkan Eva Jeumpa Soelaeman saat ujian desertasu menjadi doktor pertama dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada 2021 ini.

Dokter spesialis anak yang berpraktik di RS AB Harapan Kita Jakarta ini meraih gelar tertinggi di jenjang akademik ini dalam sidang promosi doktor pada Selasa, 5 Januari 2021.

Judul disertasinya yang diujikan adalah Efikasi Fortifikasi Glutamin, Zinc, Prebiotik, dan Serat Pangan pada Suplemen Biskuit Berbasis Moringa Oleifera terhadap Perbaikan Integritas Mukosa Usus pada Anak Gizi Kurang Usia 12-18 Bulan.

Adapun promotor disertasi adalah Prof Dr dr Agus Firmansyah SpA(K) dan kopromotor Prof Dr dr Saptawati Bardosono MSc dan Prof Dr Clara M Kusharto MSc. Sidang promosi doktor ini dipimpin oleh Dekan FK UI Prof Dr dr Ari Fahrial Syam SpPD FINASIM.

Eva mengemukakan, data 2018 menunjukkan 17,7% balita di Indonesia masih mengalami masalah gizi. Yaitu, 3,9% mengalami gizi buruk dan 13,8% menderita gizi kurang.

Akibat dari kondisi itu, anak mudah menderita infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dan infeksi usus (diare).

Masalah gizi disebabkan oleh akses terhadap pangan rendah, pemberian makanan tambahan terlalu cepat atau terlalu lambat, terlalu cepat atau terlalu lambat disapih, ataupun asupan makanan yang kurang mengandung gizi.

Infeksi usus tersebut berupa atrofi mukosa sehingga menimbulkan malabsorbsi nutrien, insufisiensi pankreas, dan intoleransi laktosa. Jika terus dibiarkan maka anak akan kekurangan protein dengan gejala stunting.

Nah, atrofi usus ini bisa direhabilitasi dengan terapi nutrisi untuk memperbaiki mukosa usus.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini