"Sebenarnya dari SMP kita sudah belajar tentang katoda dan anoda," ujar Sarwani.
Sarwani pun menjelaskan, bahwa elektroda yang menerima elektron dari sumber arus listrik luar disebut katoda.
Baca juga: Khawatir Gempa Susulan, Ratusan Warga Majene Masih Bertahan di Tempat Pengungsian
Sedangkan elektroda yang mengalirkan elektron kembali ke sumber arus listrik luar disebut anoda.
Katoda adalah tempat terjadinya reaksi reduksi yang elektrodanya negatif (-).
Sementara anoda adalah tempat terjadinya reaksi oksidasi yang elektrodanya positif (+).
Jika kita tengok lampu air garam pun memiliki prinsip yang sama.
Air laut atau garam sebagai elektrolit. Ketika masuk ke dalam tabung modul, terjadi reaksi kimia yang menghasilkan ion-ion energi listrik.
Dan ion-ion itu pula yang dimanfaatkan untuk menyalalakan LED.
Bukan hanya memberi cahaya di tengah kegelapan. Lampu air garam juga bisa dimanfaatkan sebagai charger ponsel Anda.
"Tapi tidak bisa digunakan bersamaan. Jadi, kalau sedang dipakai untuk menyalakan lampu, maka fungsi charger off. Sebaliknya kalau sedang digunakan sebagai charger, maka lampu LED tidak bisa dinyalakan," kata Sarwani.
Ketika didesak mengapa tidak bisa difungsikan bersamaan? Tangkas Sarwani menukas, "Karena kebutuhan voltasenya berbeda. Untuk lampu, 3 volt, sedangkan untuk charger selular, 5 volt."
Apa pun, lampu air garam produksi HEI ini benar-benar membantu warga yang mengungsi.
Di saat PLN belum mengalirkan listrik, kehadiran lampu air garam benar-benar menjadi penerang. Solusi di tengah kegelapan.
"Sebelumnya, kami juga sudah memperkenalkan lampu ini di lokasi pengungsi erupsi Gunung Merapi, di Yogyakarta. Akhir tahun lalu, kami juga mengirim lampu-lampu ini ke lokasi pengungsi banjir bandang di Aceh," katanya.
Sarwani berterima kasih, jika kemudian karyanya diapresiasi BNPB.