Oleh: Sawedi Muhammad (Sosiolog Universitas Hasanuddin)
TRIBUNNERS - Gedung Capitol, jelang siang 20 Januari 2021 menjadi saksi sejarah pelantikan Joe Biden sebagai Presiden Amerika yang ke-46.
Pelantikan yang mengharukan, mendebarkan, sekaligus mengkhawatirkan. Sekitar 25.000 pasukan Garda Nasional siaga penuh. Mereka menjaga Capitol yang dikelilingi kawat berduri setinggi 1,5 meter, antisipasi kemungkinan diserbu oleh mereka yang menentang pelantikan.
Pasukan elit ini mengepung kota yang sepi, mall yang tutup dan ruang publik yang kosong. Inilah prosesi pelantikan Presiden pertama dalam sejarah Amerika laksana situasi perang.
Baca juga: Iran Berencana Keluarkan 7 Tuntutan untuk Biden, Sebelum Kembali Bahas Kesepakatan Nuklir
Ancaman dari loyalis Trump tidak main-main. Mereka telah membuat gempar dunia; menyerbu Gedung Capitol tanggal 6 November dengan amarah yang membuncah.
Penyerbuan tanpa antisipasi. Penyerbuan yang menggemparkan. Saat itu kongres bersidang mengukuhkan Biden-Harris sebagai pemenang pemilu - yang menurut Trump dan pendukungnya - adalah pemilu curang dan tidak adil.
Mereka memasuki gedung Capitol dilengkapi senjata, meneror dengan kekerasan, mengancam jiwa mereka yang menghalangi delusi politiknya.
Kelompok supremasi kulit putih terpengaruh atas klaim dan provokasi Donald Trump bahwa ia kalah karena dicurangi, karena konspirasi.
Meski terbukti perolehan suara popular dan elektornya kalah jauh dari Biden, Trump dan pendukungnya menolak kalah. Mereka ingin melawan ilusi ketidakadilan itu, dengan caranya sendiri.
Baca juga: POPULER Internasional: Joe Biden Dibiarkan Menunggu di Depan Gedung Putih | Profil Alexei Navalny
Meski dalam ancaman, Kongres bergeming. Mereka berhasil menetapkan Joe Biden sebagai Presiden terpilih menaklukkan Donald Trump yang pongah.
Dalam pidatonya yang datar, Biden menyeru warga Amerika, "Hear me clearly, disagreement must not lead to disunion. I plead this to you: I will be the President for all Americans. And I promise you, I will fight as hard as for those who didn't support me as those who did".
Biden memohon agar persatuan Amerika tetap terjaga meski terdapat perbedaan. Biden berjanji untuk menjadi Presiden bagi seluruh rakyat Amerika dan akan bekerja keras seperti mereka yang mendukungnya atau mereka yang menentangnya.
Mampukah Biden-Harris menyembuhkan Amerika dari luka akibat kekerasan politik dan segregasi rasial sistemik?
Apakah kredo "Mimpi Amerika" masih relevan atau menjadi mustahil seiring dengan terpuruknya ekonomi dan meningkatnya kesenjangan dan ketidakadikan sosial?