News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Pemilihan Presiden Amerika Serikat

Joe Biden dan Mimpi Amerika

Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Presiden AS Joe Biden (tengah) menyampaikan pidato pelantikannya setelah dilantik sebagai Presiden AS ke-46 pada 20 Januari 2021, di US Capitol di Washington, DC.

Oleh: Sawedi Muhammad (Sosiolog Universitas Hasanuddin)

TRIBUNNERS - Gedung Capitol, jelang siang 20 Januari 2021 menjadi saksi sejarah pelantikan Joe Biden sebagai Presiden Amerika yang ke-46.

Pelantikan yang mengharukan, mendebarkan, sekaligus mengkhawatirkan. Sekitar 25.000 pasukan Garda Nasional siaga penuh. Mereka menjaga Capitol yang dikelilingi kawat berduri setinggi 1,5 meter, antisipasi kemungkinan diserbu oleh mereka yang menentang pelantikan.

Pasukan elit ini mengepung kota yang sepi, mall yang tutup dan ruang publik yang kosong. Inilah prosesi pelantikan Presiden pertama dalam sejarah Amerika laksana situasi perang.

Baca juga: Iran Berencana Keluarkan 7 Tuntutan untuk Biden, Sebelum Kembali Bahas Kesepakatan Nuklir

Ancaman dari loyalis Trump tidak main-main. Mereka telah membuat gempar dunia; menyerbu Gedung Capitol tanggal 6 November dengan amarah yang membuncah.

Penyerbuan tanpa antisipasi. Penyerbuan yang menggemparkan. Saat itu kongres bersidang mengukuhkan Biden-Harris sebagai pemenang pemilu - yang menurut Trump dan pendukungnya - adalah pemilu curang dan tidak adil.

Mereka memasuki gedung Capitol dilengkapi senjata, meneror dengan kekerasan, mengancam jiwa mereka yang menghalangi delusi politiknya.

Kelompok supremasi kulit putih terpengaruh atas klaim dan provokasi Donald Trump bahwa ia kalah karena dicurangi, karena konspirasi.

Meski terbukti perolehan suara popular dan elektornya kalah jauh dari Biden, Trump dan pendukungnya menolak kalah. Mereka ingin melawan ilusi ketidakadilan itu, dengan caranya sendiri.

Baca juga: POPULER Internasional: Joe Biden Dibiarkan Menunggu di Depan Gedung Putih | Profil Alexei Navalny

Meski dalam ancaman, Kongres bergeming. Mereka berhasil menetapkan Joe Biden sebagai Presiden terpilih menaklukkan Donald Trump yang pongah.

Dalam pidatonya yang datar, Biden menyeru warga Amerika, "Hear me clearly, disagreement must not lead to disunion. I plead this to you: I will be the President for all Americans. And I promise you, I will fight as hard as for those who didn't support me as those who did".

Biden memohon agar persatuan Amerika tetap terjaga meski terdapat perbedaan. Biden berjanji untuk menjadi Presiden bagi seluruh rakyat Amerika dan akan bekerja keras seperti mereka yang mendukungnya atau mereka yang menentangnya.

Mampukah Biden-Harris menyembuhkan Amerika dari luka akibat kekerasan politik dan segregasi rasial sistemik?

Apakah kredo "Mimpi Amerika" masih relevan atau menjadi mustahil seiring dengan terpuruknya ekonomi dan meningkatnya kesenjangan dan ketidakadikan sosial?

Mimpi Amerika (American Dream)

Sejarawan James Truslow dalam karya klasiknya (1931) "Epic of America" mengurai bahwa "Mimpi Amerika bukanlah semata hasrat akan pendapatan besar dan kepemilikan kendaraan mewah, tetapi mimpi akan tatanan sosial dimana setiap lelaki dan perempuan dapat meraih status puncak sesuai kemampuannya serta mendapatkan pengakuan dari orang lain atas capaiannya tanpa melihat warna kulit, agama dan tempat dimana mereka dilahirkan".

Mimpi Amerika adalah sebuah keyakinan yang dipercaya sebagai pendorong untuk meraih kehidupan yang diinginkan.

Ia ditopang oleh kebebasan, hak-hak individu, dan kesamaan dalam demokrasi. Negara menjamin hak dan kebebasan individu untuk hidup layak dan mendapatkan kebahagiaan.

Melalui kerja keras dan tekun, siapapun dapat meraih kekayaan dan kesuksesan yang gemilang.

Dasar dari mimpi ini adalah kredo Amerika yang ditulis oleh William Tyler Page tahun 1917. Ia kemudian dijadikan judul resolusi Kongres yang ditetapkan pada tanggal 3 April 1918.

Kredo ini menegaskan bahwa Amerika dijalankan oleh pemerintahan; dari, oleh dan untuk rakyat. Kekuasaannya yang adil berasal dari rakyat yang dipimpinnya.

Amerika adalah negara yang didirikan berdasarkan prinsip kebebasan, persamaan hak, keadilan dan kemanusiaan yang terbentuk dari semangat para patriotnya yang telah mengorbankan jiwa raganya.

Usia kredo Amerika telah mencapai lebih dari satu abad. Tetapi kenyataannya masyarakat Amerika selalu bergolak dalam pertentangan dan perpecahan.

Menurut Sosiolog Todd Gitlin, “Amerika akan selalu terbelah. Menyatukan Amerika hanyalah sebuah mitos.

Keyakinan Amerika sudah bermasalah sedari awal. Hampir seluruh momen dalam sejarahnya diwarnai oleh keterbelahan”.

Di usianya yang panjang, Amerika telah mengalami begitu banyak pertentangan. Industrialisai, imigrasi, partai politik, kebebasan sipil, protes anti-perang, hak memilih untuk perempuan, hak aborsi, hak kaum gay dsb.

Gitlin menambahkan bahwa alasan tunggal mengapa Amerika susah bersatu berasal dari fondasi negara yang menjadi tempat pertemuan (melting pot) orang-orang yang tidak memiliki muasal yang sama.

Gitlin mengklaim bahwa Amerika didirikan tidak seperti negara lain yang terbentuk atas kesepakatan narasi nasional atau nasional konsensus yang tertancap dalam dari narasi pribumi.

Amerika disatukan oleh sebuah doktrin ideologis. Sebuah pernyataan keyakinan, bukan pernyataan identitas.

Frederick Douglass - mantan budak yang menjadi aktivis terkemuka - menyindir cita-cita mulia yang tertulis di deklarasi kemerdekaan Amerika tentang janji kebebasan (freedom). Douglass mempertanyakan, “Apakah prinsip nan agung dari kebebasan politik dan keadilan alamiah yang tercantum dalam teks deklarasi kemerdekaan juga berlaku bagi kami warga kulit hitam?”.

Banyak pengamat melihat bahwa gerakan “Black Lives Matters” saat ini melawan kebrutalan dan ketidakadilan polisi sama dengan pergolakan tahun 60an menuntuk kebebasan sipil, hak-hak perempuan, dan protes menentang perang Vietnam.

Segregasi rasial yang akut ini terus menghantui Amerika. Sosiolog dan Ekonom asal Swedia, Gunnar Myrdal menulis dalam bukunya (1944) “An American Dilemma: The Negro Problem and Modern Democracy, membahas secara detail apa yang menghambat warga kulit hitam untuk berpartisipasi secara penuh dalam masyarakat Amerika.

Myrdal berkeyakinan bahwa Amerika yang tangguh akan memenangkan demokrasi dan rasisme akan tersingkir di selokan sejarah. Myrdal melihat ada lingkaran setan (vicious cycle) dimana kulit putih menindas kulit hitam.

Penindasan terjadi karena ketidakmampuan dari berbagai hal dimiliki oleh kulit hitam. Untuk keluar dari lingkaran setan ini, Myrdal menyarankan dual hal; menghilangkan prasangka kulit putih atau memperbaiki situasi yang dihadapi oleh kulit hitam. Myrdal menyebutnya sebagai “principle of cummulation”.

Menurut Myrdal, “Dilema Amerika pada masanya adalah idealisme liberal Amerika yang berdampingan dengan kondisi yang menyakitkan dari warga kulit hitam. Di satu sisi, kemuliaan kredo Amerika yang mencitakan semua manusia adalah sama. Di sisi lain, sepersepuluh dari penduduk Amerika diperlakukan sebagai ras inferior, diabaikan hak-hak sipil dan politiknya”.

Myrdal menyimpulkan bahwa masalah orang negro adalah beban bagi kulit putih. Sebagai tanggung jawab kolektif, kulit putih harus mengeluarkan kulit hitam dari penjara keterbelakangan.

Sayangnya, 76 tahun setelah buku ini diterbitkan, impian Amerika akan kesamaan hak dan kesempatan bagi semua manusia tidak juga terwujud. Amerika semakin dihantui oleh segregasi rasial, ketimpangan sosial dan ketidakadilan yang mengancam eksistensinya sebagai bangsa beradab.

Optimisme di Koridor Sempit

Dalam wawancara eksklusifnya dengan majalah Haaretz di bulan November 2020, Noam Chomsky membeberkan keraguannya terhadap masa depan Amerika.

"Meski Biden terpilih sebagai Presiden, ia tidak bisa mengabaikan 70 juta loyalis Donald Trump. Mayoritas diantaranya adalah kulit putih, konservatif, beragama kristen dan tinggal di pedesaan. Kekhawatiran mereka adalah pandangan hidup orang kulit putih berada dalam ancaman. Mereka tidak lagi leluasa mengalungkan sepatu kerjanya di leher mereka yang berkulit hitam".

Chomsky menambahkan, "Trump berhasil meracuni urat nadi kehidupan Amerika yang mengalir di bawah permukaan; meneteskan racunnya dan memperbesar daya rusaknya".

Supremasi kulit putih telah berurat-berakar dalam budaya Amerika. Ia telah mentradisi selama berabad-abad. Selain itu, angka kelahiran penduduk kulit berwarna jauh lebih besar dari kulit putih. Hal ini tentunya mengancam kelangsungan supremasi kulit putih di masa mendatang.

Penyanyi kenamaan Amerika, Bruce Springsteen merasakan keraguan sebagaimana Chomsky.

Mengutip laporan editorial The New York Time berjudul "The America We Need", Springsteen menegaskan bahwa ada kesenjangan sangat dalam antara mimpi Amerika dengan realitas Amerika. Springsteen mengutip filsuf Harry Frankfurt, "It does not matter wether some people have less than others. What matter is that some people don't have enough. Luck adequate income, no wealth and don't enjoy decent housing, health care or education".

Tidak menjadi masalah apabila sebagian orang memiliki sesuatu yang lebih sedikit dari yang lainnya. Yang menjadi masalah adalah banyak diantaranya sama sekali tidak memiliki apa-apa.

Mereka tidak memiliki pendapatan cukup, tidak menikmati rumah yang layak, tanpa akses pendidikan dan kesehatan.

Kesenjangan sosial adalah salah satu tantangan terbesar Biden-Harris. Forbes tahun 2017 menemukan bahwa hanya tiga orang, Jeff Bezos, Warren Buffett dan Bill Gates memiliki kekayaan lebih besar dari separuh penduduk Amerika.

Di bulan September 2019, Biro Sensus Nasional melaporkan bahwa indeks kesenjangan di Amerika mencapi level tertinggi dalam 50 tahun terakhir. Rasio gini meningkat tajam. Dari 48,2 di tahun 2017 menjadi 48,5 di tahun 2018.

Angka gini rasio ini menempatkan Amerika sebagai negara dengan tingkat kesenjangan tertinggi diantara negara anggota G7.

Meski terdapat kemajuan ekonomi secara signifikan, kondisi ekonomi warga kulit hitam jauh lebih buruk dari kulit putih atau populasi secara keseluruhan.

Tingkat pengangguran kulit hitam secara konsisten dua kali lebih tinggi dari kulit putih. Karenanya, kulit hitam dua kali lipat kemungkinannya untuk hidup dalam kemiskinan ketimbang kulit putih. Sementara anak-anak kulith hitam tiga kali lipat kemungkinannya untuk hidup dalam kemiskinan ketimbang anak-anak kulit putih.

Data muram lainnya adalah kasus penembakan polisi terhadap kulit hitam, penduduk asli, serta kulit berwarna (BIPOC) tiga kali lebih tinggi dari kulit putih.

Menurut Forbes, sejak Januari 2015 terdapat 4,728 penembakan oleh polisi. Separuh diantaranya adalah kulit putih (2,385), kulit hitam (1,252), Hispanik (877) dan lainnya (214).

Meski separuh yang tertembak adalah kulit putih, proporsi kulit hitam dari total jumlah penduduk yang kurang dari 13%, menempatkannya di proporsi terbesar kategori ras yang tertembak.

Kondisi di atas diperparah oleh dampak virus corona yang semakin mengkhawatirkan. Hari ini sudah 25,2 juta kasus di Amerika, sekitar 419.000 dinyatakan meninggal dunia.

Kekurangan peralatan medis dan obat-obatan, keterbatasan fasilitas rumah sakit adalah masalah serius yang tengah dihadapi oleh Amrika.

Dikepung oleh begitu banyak masalah akut dalam negeri. Biden-Harris juga menghadapi masalah luar negeri yang tidak ringan.

Persaingan dagang dengan Tiongkok, konflik di Laut Cina Selatan, ancaman pemanasan global, konflik Timur Tengah khususnya Israel-Palestina, konflik di Syria, kesepakatan nuklir dengan Iran adalah sederet masalah yang menunggu tangan dingin seorang Joe Biden.

Di salah satu bagian pidato pelantikannya, Biden antusias menyerukan, “Kita akan terus maju dengan cepat dan segera, karena banyak yang harus kita lakukan di musim dingin yang penuh bahaya dan kemungkinan. Banyak yang harus diperbaiki. Banyak yang harus dipulihkan. Banyak yang bisa disembuhkan. Banyak yang harus dibangun. Dan banyak yang harus diraih..”.

Melalui pengalamannya yang panjang, Amerika dan Dunia berharap, Biden mampu memberi perbedaan dan meraih capaian yang diidamkan oleh mimpi Amerika, mimpi yang telah menghantui perjalanannya sebagai sebuah bangsa yang tak jua sanggup diwujudkan.

Pergolakan di Amerika hendaknya menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia bahwa untuk mempertahankan demokrasi, dan keutuhan sebuah bangsa, optimisme tidaklah cukup. Dibutuhkan tekad yang kuat untuk bertahan dari turbulensi.

Dibutuhkan kekompakan melawan keculasan dan tipu daya. Dibutuhkan keberanian untuk saling mengingatkan. Dibutuhkan jiwa besar untuk mengakui kekalahan. Dibutuhkan pemimpin visioner sebagai cahaya yang menerangi koridor masa depan.

Amanda Gorman, dalam suasana haru pelantikan Joe Biden, membius dunia dengan puisinya yang memukau.

For there is always light,
If only we’re brave enough to see it
If only we’re brave enough to be it.

Akan selalu ada cahaya, hanya jika kita cukup berani melihatnya. Hanya jika kita cukup berani menjadi cahaya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini