Oleh Riant Nugroho*)
SALAH satu ketertinggalan pembuat kebijakan telekomunikasi di Indonesia adalah kegagapan untuk memenuhi Janji Kemerdekaan yang pertama pada konteks kekinian, yaitu “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Ini adalah janji pertama dan harus pertama-tama dipenuhi, sebelum masuk tiga janji selanjutnya.
Janji pertama dalam konteks kekinian adalah perlindungan dalam dua ranah: ranah fisikal dan ranah digital. Hari ini hampir seluruh warganegara Indonesia telah hidup di jaman digital, kecuali yang tidak tersentuh oleh teknologi komunikasi digital. Di era digital, semua ibarat “buku yang terbuka lebar”, dan dapat dibaca oleh mereka yang memerlukannya, khususnya untuk kepentingan politik dan komersial.
Upaya untuk mewujudkan janji Negara tersebut dilakukan melalui Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Sektor Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran (RPP Postelsiar). Dengan semangat nasionalisme dan kualitas kebangsaan yang tinggi, Menteri Kominfo Johny G. Plate telah mencanangkan pengaturan terhadap pelaku usaha Over The Top (OTT) utamanya pelaku usaha OTT asing, guna menegakkan kedaulatan bangsa.
Baca juga: Ini Rekomendasi Teknologi Keamanan dan Informasi dari Praktisi IT untuk Polri Presisi
Pada RPP Postelsiar, dengan segera diamanatkan bahwa penyelenggara plaform dan aplikasi digital dari negara lain yang beroperasi memanfaakan ruang siber Indonesia harus dikendalikan. Prinsip ini dinyatakan dalam (hanya) salah satu pasal, yaitu bahwa Pemerintah mewajibkan kerja sama antara OTT asing dengan operator telekomunikasi di Indonesia. OTT tidak hanya seperti definisi Wikipedia yaitu layanan media siaran yang menggunakan internet, namun setiap platform dan aplikasi yang menggunakan penambangan data dan komersialisasi layanan melalui internet.
Baca juga: Uji Coba 4G/5G Dynamic Spectrum Sharing, XL Axiata Siapkan Jaringan 5G
Bukan Kontroversi, “Perlawanan”
Tentu saja, pemilik usaha OTT, yang sebagian besar berasal dari AS, menolak. Tanpa regulasi, mereka dapat “menambang” data dan laba yang tidak terlacak. Indonesia, sebagai negara dengan ekonomi terbesar dunia no 15 dari ukuran PDB dan Nomor 7 dari ukuran purchasing power parity, jelas Indonesia sangat “seksi”. Apalagi, ekonomi digital Indonesia pada tahun 2019 mencapai US 40 milyar, dan diperkirakan menjadi US $ 130 milyar pada tahun 2025. Ekonomi digital Indonesia adalah yang terbesar di kawasan Asia Tenggara. Sudah masuk kriteria “super seksi”.
Ironisnya, ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara dikeruk dengan tanpa membayar pajak ke Pemerintah. Perjuangan Menteri Keuangan Sri Mulyani agar Indoensia mendapatkan hak tersebut selalu menemui jalan buntu. Pemilik OTT melancarkan berbagai upaya dan lobi untuk menggagalkannya.
Baca juga: Telkomsel-Huawei Pasang Antena High-gain Narrow Beam untuk Gedung Tinggi
Pemilik usaha OTT asing juga memberikan berbagai pernyataan yang keliru dan menyesatkan kepada Pemerintah. Mereka mengatakan bahwa kewajiban kerja sama akan menurunkan kualitas layanan, menjadikan Indonesia negara yang diasingkan dunia, menghilangkan lapangan kerja, dan bertentangan dengan net neutrality yang bahkan di Amerika Serikat sendiri telah dicabut pengaturannya. Kerja sama sebagai perwujudan semangat gotong royong Pancasila jelas akan menimbulkan kemanfaatan bagi semua pihak.
Tantangannya, apa agenda dari kelompok di lingkungan Pemerintah yang saling “tawar-menawar” tersebut, terutama setelah mendapatkan “masukan”, yang kadang juga berupa “tekanan”, bahkan dapat terjadi “tusukan” dari kelompok yang menginginkan kebijakan yang lain dari yang disiapkan oleh Pemerintah. Terutama, mereka yang berasal dari negara lain. Kasus yang lazim terjadi di negara-negara berkembang yang biasanya Pemerintahnya lemah kepada investor internasional, sebagaimana banyak terjadi di kawasan Afrika Tengah.
Terlepas dari tekanan pemilik usaha OTT, Pemerintah perlu melihat besarnya risiko jika pengaturan kewajiban kerja sama pemilik usaha OTT tidak diatur. Konten yang disebarkan oleh pemilik usaha OTT tanpa melalui pengaturan Pemerintah, dan sebagiannya yang berbau pornografi dan radikal tentu bertentangan dengan nilai-nilai agama dan pancasila. Sebagai contoh, Netflix menayangkan film kontroversial seperti Messiah dan Cuties.
Lebih berbayahanya lagi, pemilik usaha OTT besar telah menjadi gate keeper yang menguasai alur informasi di ranah digital. Melalui pengaturan informasi, mereka bisa menentukan arahnya demokrasi di berbagai negara.
Sebagai contoh, Facebook melakukan pengaturan konten politik di Amerika Serikat, Kanada, Brazil, dan Indonesia untuk menggiring opini serta meningkatkan traffic, sehingga mereka mendapatkan keuntungan. Tidak berbeda dengan Facebook, Twitter juga melakukan hal yang relaltif sama. Bahkan keberadaan mantan presiden Amerika Serikat Donal Trump di ruang digital juga bisa dihapus oleh Twitter selaku pemilik usaha OTT. Penghapusan ini tanpa didasari keputusan pengadilan.
Kebijakan publik bukanlah masalah teknis pasal-pasal, namun masalah etika atau moral kebangsaan. Memang, pengajar-pengajar dari negara maju, mengajarkan bahwa kebijakan adalah masalah praktis, cepat, dan lupakan pertimbangan etik. Sebuah cara yang cerdas, yang masuk dalam kategori smart power dari Joseph S. Nye (The Future of Poer, 2011). Pemahaman yang membutakan tidak sedikit pembuat kebijakan, bahwa kebijakan adalah tentang kebajikan (virtue), suatu kualitas yang memenuhi kebaikan moral sebagai pondasi prinsip dan moral kebaikan.
Komentar leceh yang mungkin muncul adalah, mengapa jadi seruwet itu? Pertanyaan yang merendahkan jati diri kebangsaan dari pembuat atau pengambil kebijakan. Karena, ada di mana pun mereka, maka tugas pertama adalah membuat kebijakan yang memenuhi janji kemerdekaan mereka, melampaui hal-hal yang lain. Kedaulatan adalah janji pertama, kemerdekaan Indonesia, yang menjadi pertimbangan setiap pengambil kebijakan.
Pada kasus pewajiban kerjasama OTT dengan penyelenggara telekomunikasi nasional, pertama-tama bukan tentang pembagian keuntungan, namun prinsip perlindungan kepada segenap tumpah darah Indonesia. Bukan sekedar perlindungan data, namun perlindungan siber nasional. Tidak ada satu negara merdeka dan berdaulat pun yang up-date pemikirannya, yang tidak memerlukannya sebagai prioritas utama dan pertama.
Dan, ini pun bukan hal yang nganeh-anehi. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres konferensi pers pada Kamis (28/1/2021) mengemukakan bahaya dari dunia di mana terlalu banyak kekuasaan diberikan kepada sejumlah kecil perusahaan yang pada saat ini mendominasi dunia siber.
Dukungan Kepada Pemerintah
Pemerintah Indonesia perlu didukung untuk melanjutkan pewajiban bagi OTT dri luar Indonesia untuk bekerjasama dengan penyelenggara telekomunikasi nasional dalam rangka memenuhi janji kemerdekaan. Konsekuensinya, Pemerintah Indonesia, apapun lembaga atau kementeriannya, perlu melanjutkan kehendak kebajikannya tersebut.
Tentu saja, tetap harus dipikirkan insentif bagi OTT internasional, karena harus sampai pada kondisi win-win; karena pada dasarnya, internet menjadikan dunia menjadi satu, menjadi milik semua, namun bukan tanpa sekring kendali. Melihat hirarki sistem perundang-undangan di Indonesia, kondisi win-win akan dirumuskan secara menyeluruh di Peraturan Menteri, sedangkan Peraturan Pemerintah tetap harus mewajibkan kerja sama yang bersyarat ini.
Inisiatif perlunya pengaturan pelaku usaha OTT tidak hanya berasal dari Indonesia. Sudah banyak negara yang menyelenggarakan kebijakan seperti ini, Malaysia dan Australia, dan, yang paling ekstrem, adalah Tiongkok. Bahkan PBB sendiri sudah meminta agar OTT diatur secara tegas. Artinya, pengaturan kewajiban kerja terhadap pelaku usaha OTT ini yang ditujukan untuk menegakan kedaulatan digital Indonesia, sudah sejalan dengan arah perumusan kebijakan global.
*)Riat Nugroho adalah Direktur Rumah Reformasi Kebijakan, Pengajar FISIP Universitas Achmad Yani, Lembaga Ketahanan Nasional, dan pernah menjadi Guru Besar Tamu University of Electronic Science & Technology China (UESTC), Chengdu.