Menimbang Intelektualitas Zuhairi Misrawi Sebagai Dubes Indonesia untuk Arab Saudi
Oleh Agusman Armansyah
TRIBUNNEWS.COM - Saya mengenal dekat Zuhairi Misrawi sejak 26 tahun yang lalu, sejak kami berdua menjadi mahasiswa al-Azhar, Kairo, Mesir. Kami kuliah di jurusan Akidah-Filsafat, Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar. Lebih kurang dua dekade jalinan pertemanan direnda. Selama itu bangunan intelektualisme dipatri di bawah tonggak-tonggak pemikir-pemikir Islam kontemporer melalui karya-karya monumental gerakan pembaruan Islam semisal Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rashid Ridha dan lain-lain. Mereka adalah ‘Muslim Prometheus’ yang tetap percaya dengan tradisi keislaman namun juga obyektif mengkritisi hal-hal yang menghambat kemajuan Islam. Di institusi pendidikan Islam tertua; Universitas Al Azhar kami dan Zuhairi Misrawi atau Gus Mis begitu ia disapa memulai pengembaraan intelektual di Fakultas Ushuluddin jurusan Aqidah dan Filsafat.
Sebagai institusi Islam yang otoritatif, Al Azhar membekali kami dengan ragam disiplin ilmu sebagai alat untuk menghadirkan Islam yang sesuai dengan konteks zaman agar terus relevan menjawab tantangan mutakhir. Kami terbiasa dengan bineka pemikiran dan ragam pandangan mazhab selama ia didasarkan kepada dalil-dalil naqli dan aqli. Pendidikan formal ini memberikan kesempatan bagi kami untuk mengetahui dan mengkaji langsung sumber-sumber keagamaan yang asli dengan metodologi dan penyampaian yang mencerahkan dan transformatif.
Tidak berhenti di di situ, dengan beberapa sahabat Gus Mis memprakarsai berdirinya Lembaga Studi Filsafat Islam [LSFI] di Mesir sebagai wadah untuk mendealektikan gagasan-gagasan filsuf besar dari Islam dan Barat. Kehausan atas ilmu dan semangat mencari kebenaran adalah terang kami untuk menggali mutiara-mutiara kearifan intelektual yang terkubur lama dalam tidurnya.
Gus Mis adalah potret paripurna dari pertemuan tradisi keilmuan keislaman dan gerakan aktivisme sejak menjadi mahasiswa. Ia aktif di berbagai kelompok kajian dan dunia jurnalisme. Tidak sulit untuk menelusuri jejak intelektualismenya selama belajar di Al Azhar dan media massa nasional. Tulisan-tulisannya adalah refleksi kritis dan kontribusi adekuat terhadap dilemma dan tantangan Islam walau sering disalah persepsikan. Bukan asal ‘beda,’ kemampuannya mengartikulasikan gagasanya dengan baik dan jernih menjadikan semua tulisannya istimewa.
Selain sebagai seorang intelektual dia juga adalah seorang aktivis. Baginya, semua manusia memiliki hak yang sama apa pun kelamin dan keyakinannya. Ia aktif mengampanyekan hak-hak minoritas dan kelompok-kelompok marjinal sebagai manusia dan ciptaan Tuhan. Tidak seorangpun dapat diperlakukan secara diskriminatif atas dasar perbedaan apa pun. Tuhan menciptakan manusia berikut hak-hak inheren yang melekat pada kemanusiaannya. Penghormatan dan penegakkan Hak Asasi Manusia [HAM] adalah harga mati sebagaimana implementasi 4 [empat] pilar berbangsa dan bernegara sebagai pedoman berkeindonesiaan.
Perhatian Gus Mis tidak hanya terbatas pada disiplin keislaman tapi juga menjangkau permasalahan-permasalah politik dan studi kawasan Timur Tengah. Sejak menjadi mahasiswa di Al Azhar, laporan tentang konflik di Libanon dan negara-negara Arab lainnya menjadi suguhan tetap yang kami konsumsi melalui televisi. Pengalaman tersebut menyisakan pertanyaan sekaligus upaya untuk menjawab akar permasalahan kawasan yang terus terjadi. Alih-alih selesai, konflik kawasan Timur Tengah terus bergelora dan melebar ke beberapa negara seperti Yaman, Syria, Sudan lainnya.
Gus Mis aktif mencermati perkembangan di Timur Tengah dengan menyuguhkan tulisan dan tinjauan bernas sebagai analis dan pemerhati yang diterbitkan di banyak media massa nasional. Kajiannya sangat tajam dan berbasis data-data yang akurat seperti yang terjadi di lapangan. Gagasan-gagasannya solutif memberikan arah bagi penyelesaian permasalah kawasan untuk mengakhiri konflik yang sudah berlangsung lama. Sebagai pengamat dan analis, Gus Mis harus obyektif melihat permasalahan yang terjadi dan bersikap transparan dalam menyampaikan gagasan dan solusinya. Gus Mis tumbuh dan berkembang sebagai pemikir yang independen dan kritis.
Intelektualisme plus aktivisme yang dimiliki Gus Mis adalah modal besar untuk melaksanakan pekerjaannya sebagai Dubes di Arab Saudi.
Arab Saudi adalah salah satu dari sekian negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Hubungan historis antara Arab Saudi sebagai negara lahirnya Islam dianggap sangat penting bagi Indonesia yang berpenduduk mayoritas Musllim. Dengan potensi yang sangat besar dan melimpah, kedua negara dapat memainkan peran penting dan kritis terhadap hal-hal yang mengganggu dan merugikan kepentingan kedua negara dan umat Islam. Berada di Kelompok 20 [G20] menegaskan posisi strategis kedua negara untuk berkontribusi bagi penguatan peran negara-negara berkembang khususnya negara dengan penduduk Muslim. Arab Saudi dan Indonesia harus menggalakkan hubungan diplomasi yang berbasiskan ‘mutual respect’ dan ‘mutual interest’ untuk kepentingan kedua negara yaitu; saling menghormati dan saling menguntungkan. Kerjasama kedua negara harus terus digalakkan dengan meningkatkan portofolio perdagangan, energi, pariwisata, keuangan, pendidikan, tenaga migran dan sektor-sektor strategis lainnya.
Di bidang urusan haji dan umroh misalnya, disebutkan kurang lebih 230 ribu jamaah haji Indonesia datang setiap tahunnya dan diharapkan Saudi Arabia terus meningkatkan jumlah kuota tersebut mengingat animo dan hasrat umat Islam Indonesia untuk berhaji. Belum lagi jumlah rombongan Umrah yang mencapai 1,5 juta setiap tahunnya dan diperkirakan akan terus meningkat. Kurang lebih 20 juta jamaah dari seantero dunia yang mengunjungi Arab Saudi setiap tahunnya. Jumlah dan potensi yang cukup besar untuk dikelola bagi peningkatan sektor ekonomi dan pariwisata yang sangat menjanjikan.
Sebagai negara dengan jumlah Muslim terbesar, tidak sedikit pelajar Indonesia yang ingin melanjutkan pendidikannya di negeri kelahiran agama Islam ini. Sejak tahun 1980-an, Arab Saudi telah membuka lembaga pendidikan –LIPIA— sekelas universitas untuk memberikan kesempatan bagi putra-putri Indonesia untuk mendalami dan belajar Islam. Ada puluhan ribu alumni dari pendidikan Arab Saudi dan berkiprah di masyarakat.
Hal ini tidak terlepas dari kontribusi dan program-program filantropis pemerintahan Arab Saudi di bawah kepemimpinan Raja Salman dan Putra Mahkota Muhammed bin Salman [MBS]. Dengan visi 2030, MBS berupaya menghadirkan wajah Arab Saudi yang modern, transformatif dan maju dengan menjadikan Arab Saudi sebagai salah satu poros Moderasi Islam dunia. Berbagai kebijakan diubah dan direformasi. Keterlibatan lintas sektor diperkuat. Komitmen perubahan dan transformasi diprokalmirkan. Partisipasi kalangan perempuan diakomodasi dengan kebijakan-kebijakan yang mengikutsertakan mereka dalam kiprah publik.
Dalam situasi dunia yang ‘interconnected’ dan terhubung ini, peran dan kerjasama antar negara harus diperkuat. Dalam hal ini, Indonesia sebagai negara sepupu dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia akan sangat membantu Arab Saudi mencapai cita-citanya. Sumber daya manusia yang melimpah yang dimiliki Indonesia dapat membantu Arab Saudi dalam mempercepat agenda pembangunan dan modernisasi yang diharapkan. Maka dari itu, tata kelola tenaga migran harus diperkuat untuk memastikan kerja sama yang saling memberi manfaat dan berkelanjutan bagi kedua negara.
Tantangan dan peluang di atas membutuhkan sosok dan pribadi yang kredibel dan teruji. Rekam jejak dan reputasi menjadi penting untuk menentukan siapa yang layak dan pantas untuk menjadi seseorang yang dipercaya mengurusi kepentingan-kepentingan negara di Arab Saudi.
Kami mengenal secara personal dan professional seorang Zuhairi Misrawi. Intelektualisme dan aktivisme Gus Mis adalah modal besar untuk diabdikan untuk kepentingan negara. Pilihan Presiden Joko Widodo [Jokowi] kepada intelektual Nahdlatul Ulama dan politisi PDIP ini untuk mengemban misi perwakilan Indonesia di Arab Saudi sebagai Duta Besar adalah tepat dan tidak terbantahkan. Bahkan, bisa dikatakan beliau adalah satu-satunya yang tepat untuk menduduki posisi itu untuk mengembalikan peran penting dan posisi strategis Indonesia dengan pemerintah Arab Saudi.
Indonesia membutuhkan figur dan sosok yang energik, muda, mumpuni dan kompeten untuk sebuah posisi yang strategis. Pengalaman, pergaulan dan jaringan di dalam negeri dan luar negeri yang luas adalah kekuatan Gus Mis untuk memainkan peran penting negara dalam meningkatkan posisi Indonesia di kawasan Timur Tengah khususnya Arab Saudi dan negara-negara berpenduduk Muslim.
Kami meyakini, agenda-agenda strategis kenegaraan dan kebangsaan serta gagasan menjadikan kedua negara sebagai ‘poros global moderasi Islam’ dan kekuatan baru ekonomi Islam akan mudah diwujudkan di bawah kepemimpinan Gus Mis sebagai Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Arab Saudi. Sebagai alumni Al Azhar, Kairo, kami haqqul yakin bahwa kepentingan bangsa dan negara serta umat Islam di tanah air akan mejadi prioritas beliau ketika memulai tugasnya. Kita juga tidak perlu ragu atau syak wasyangka dengan reputasi dan kredibilitas Gus Mis sebagai intelektual, aktivis dan pejabat publik karena Gus Mis hanya akan berpihak kepada nilai-nilai universal Islam yang moderat, berkemajuan dan transformatif. Selamat menunaikan amanah mulia Gus Mis untuk Indonesia!
*Agusman Armansyah adalah alumni Universitas Al Azhar, Kairo dan University of Cape Town, Afrika Selatan. Researcher di Moderate Muslim Society.