Kebodohan Dalam Baragama adalah Akar Kejahatan Teroris!
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc., M.A*
TRIBUNNEWS.COM - Berulang kali terorisme terjadi. Kali ini giliran Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, menjadi saksi mata atas kejahatan atas nama Islam itu. Walaupun hingga detik ini, belum ada satu tokoh dari kalangan mereka yang sanggup menjelaskan alasan paling mendasar, mengapa Islam mengizinkan pengrusakan.
Terorisme atas nama Islam sering dilandaskan pada perintah membunuh orang kafir. Misalnya, "bunuhlah oleh kalian orang-orang yang tidak beriman pada Allah, Hari Akhir, dan tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan rasul-Nya, serta yang tidak memeluk agama yang benar (Islam), yaitu orang-orang yang diberi alkitab, hingga mereka menyerahkan jizyah. Dan mereka itu adalah golongan yang kecil," (Qs. at-Taubah: 29).
Masih banyak ayat-ayat serupa yang memerintahkan muslim membunuh orang kafir. Namun begitu, perangkat keilmuan kelompok teroris ini memang belum tuntas dalam belajar al-Quran, Sunnah, apalagi Ulumul Qur'an dan Ulumul Hadits. Padahal, hanya ilmu pengetahuan yang mampu membebaskan jiwa dan pikiran mereka dari bujuk rayu setan terorisme.
Islam mengenal dua macam jenis kafir: Harbi dan Dzimmi. Kafir Harbi adalah orang-orang non-muslim yang menyatakan perang terhadap umat muslim. Misalnya, ketika Rasulullah Saw pertama kali mendakwahkan Islam secara terbuka, orang kafir menyatakan permusuhan terhadap umat muslim. Kafir Quraisy inilah yang disebut Kafir Harbi.
Begitu Rasulullah Saw hijrah ke Madinah, orang-orang non-muslim Madinah berbeda dengan orang-orang kafir Makkah. Yahudi dan Nashrani di Madinah bersepakat untuk membangun Negara Madinah bersama-sama. Piagam Madinah kala itu menjadi saksi sejarah bahwa umat muslim dan non-muslim/kafir sanggup hidup berdampingan dengan harmonis, rukun, damai. Merekalah yang disebut Kafir Dzimmi.
Kafir Dzimmi haram diperangi oleh umat muslim. Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin (1413: jilid 7, hlm. 297), misalnya, dalam kitabnya Majmu' Fatawa wa Rasail telah menegaskan bahwa umat muslim wajib menjaga orang kafir, haram hukumnya memusuhi mereka, haram menyerang harta, jiwa, dan properti mereka apabila sudah menjadi Kafir Dzimmi.
Salah satu bentuk perhatian Islam atas umat non-muslim adalah larangan menghancurkan tempat ibadah mereka. Allah SWT berfirman:
وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ
“Dan sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.”(QS. Al-Hajj: 40).
Ayat ini menjadi landasan bahwa sebagian umat perlu bersikap tegas agar tidak terjadi pengrusakan terhadap properti umat lain yang berbeda agama. Tempat-tempat ibadah, baik itu biara, gereja, Sinagog, dan masjid harus dijaga dan dihormati.
Pandangan Syeikh al-Utsaimin ini berlandaskan pada sabda Rasulullah saw., "man qatala mu'ahidan lam yaruh raihatal jannah (barang siapa yang membunuh kafir dzimmi maka ia tidak akan pernah mencium aroma surga)" (HR. Bukhari).
Dalam menafsir hadits ini, al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Bari mengatakan: yang dimaksud kafir di sini adalah orang-orang yang sudah meneken perjanjian damai dengan orang muslim, baik dengan cara membayar jizyah, perlindungan sultan, atau jaminan keamanan dari orang muslim (1421: jilid 12, hlm. 271).
Kasus pengeboman Gereja Katedral di Makassar lebih tepatnya dimaknai sebagai kebodohan intelektual, dari pada sebagai semangat beragama yang baik dan benar. Sebab, pertama kali malaikat Jibril menemui Muhammad di Gur Hira' bertujuan untuk mengajarkan membaca, belajar, dan berpengetahuan yang luas. Andai kaum teroris mau lebih sabar, belajar Islam dari tingkat paling rendah hingga ke level profesional, tentu pikiran tidak akan cupet, jiwa tidak akan sempit.
Imam al-Albani rahimahullah, misalnya, mengutip riwayat al-Daruquthni (349) dan al-Baihaqi (8/33) sebuah atsar dari Ibnu Umar radiyallahu 'anhu. Bahwa ada seorang muslim yang membunuh seorang kafir dzimmi secara sengaja, lalu si muslim pembunuh ini dilaporkan pada Khalifah Utsman bin Affan. Khalifah pun menjatuhkan diyat (hukuman) dengan hukuman yang berlaku pada pembunuh muslim.
Orang-orang kafir atau nonmuslim di Indonesia adalah kafir dzimmi, sesuai kriteria dari Ibnu Hajar al-Asqalani. Nonmuslim Indonesia bukan saja dijaga kehormatannya, dijaga harta dan jiwa mereka, oleh konstitusi negara. Lebih dari itu, umat muslim terbesar di Indonesia seperti warga Nahdliyyin dan Muhammadiyah telah berdamai dengan mereka.
Faktor-faktor sosiologis, adanya dukungan mayoritas umat muslim ini, menjadi pertimbangan hukum. Semua nonmuslim Indonesia adalah dzimmi, dan orang muslim yang membunuh kafir dzimmi tidak akan pernah sempat mencium aroma surga. Itu penekanan langsung dari Rasulullah saw.
Penting pula disampaikan pandangan Imam Ahmad bin Hambal radhiyallahu 'anhu, dalam kitab Masail al-Imam Ahmad bin Hambal wa Ibni Rahwayh (2004: jilid 7, hlm. 3498) bahwa seorang muslim yang membunuh orang kafir dzimmi secara sengaja maka hukumnya adalah Qishash, dan diyatnya (denda) berkali lipat.
Orang-orang teroris ini selain sempit ilmu pengetahuan mereka, dan hanya membatasi pada bacaan yang sedikit dan spesifik, tetapi juga sering mengkhianati sumber rujukan mereka sendiri. Karenanya, segala tindakan terorisme bukan saja salah di mata hukum positif melainkan juga salah di mata hukum agama.
Terakhir, Syeikh Khalid al-Musyaiqah dalam kitabnya al-'Aqdu al-Tsamin fi Tarikh al-Bilad al-Amin (1406: 254) menegaskan, bila orang muslim membunuh kafir dzimmi secara sengaja maka hukumnya bisa dua kali lipat.
Dari semua rujukan di atas, hemat penulis, siapapun yang melukai kafir dzimmi sama kedudukannya dengan meludahi wajah Islam. Pelakunya dapat dijatuhi hukuman dua kali lipat dari yang semestinya. Pemerintah dan hakim pengadilan tidak perlu segan-segan menjatuhkan hukuman yang berlipat ganda terhadap umat muslim yang menciderai wajah Islam.
Ada hikmah yang sangat mendalam di dalam pandangan Syeikh Khalid al-Musyaiqah, Imam Ahmad bin Hambal, Syeikh al-Albani, Al-Daruquthni, al-Baihaqi, dan Ibnu Hajar al-Asqalani. Semua ulama sepakat agar hukum diberikan dua kali lipat lebih berat dari pada yang semestinya. Ini menjadi pelajaran bahwa umat muslim harus menjadi standar moral.
Apakah dengan menjatuhkan hukuman yang lebih berat dua kali lipat dapat disebut diskriminasi umat muslim? Tidak! Adakah umat muslim yang berani mengatakan Ibnu Hajar, al-Baihaqi, al-Daruquthni, Imam Ahmad bin Hambal sebagai pelaku diskriminasi terhadap umat muslim? Tidak. Dengan menjatuhkan hukuman dua kali lipat lebih berat, para ulama Salafus Sholeh ingin mendidik masyarakat muslim agar lebih bermoral, beradab, dan rahmatan lil alamin.* wallahu a’lam bis shawab.
*Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon.