Setelah Rake Panaraban, menurut prasasti Wanua Tengah III, raja Medang yang berkuasa adalah Rake Warak Dyah Manara yang berkuasa pada tahun 803- 827 M (yang dalam prasasti Mantyasih disebut Sri Maharaja Rakai Warak).
Rakai Warak ini adalah putra dari Rake Panaraban atau Rake Panunggalan dan Rakai Warak ini cucu dari Rake Panangkaran.
Dari Prasasti Wanua Tengah III dan prasasti Nalanda dapat diperoleh keterangan kedua cucu dari Rake Panangkaran itu sama-sama menjadi "Raja Jawa", meski raja di dua tempat yang berbeda.
Rakai Warak Dyah Manara menjadi raja di Mdang Matarãm dan Balaputradewa menjadi raja di Swarnadwipa (Kerajaan Sriwijaya Pulau Sumatera).
Jika kakek dari Balaputradewa dapat diidentifikasikan sebagai Rake Panangkaran, apakah secara langsung dapat dikatakan Balaputradewa adalah putra Rake Panaraban, putra bungsunya?
Jika hal ini dibenarkan, dan penulis juga beranggapan demikian karena sesuai dengan penggambaran yang ada di prasasti Nalanda, ayah dari Balaputradewa adalah raja yang cakap dan gagah perwira yang digambarkan seperti Yudishtira, Paracara, Bhimasena, Karna dan Arjuna.
Dalam hal ini penulis berpendapat, Balaputradewa dapat menjadi raja di Swarnadwipa karena faktor perkawinan.
Balaputradewa yang menikah dengan putri raja Swarnadwipa,dari dinasti Soma (Somawangsa), dan ketika ayahnya raja Sriwijaya meninggal, dirinya lah yang mewarisisi kekuasaannya dan menjadi raja di kerajaan Sriwijaya.
Sebagai pangeran yang masih berketurunan dari raja Mdang di Jawa dan cucu dari penguasa Jawa sekaligus penguasa Sriwijaya Sumatera, semenanjung barat Malaya, hingga Khmer di Kamboja, tentunya hal tersebut bukan persoalan sulit bagi Balaputradewa menjadi raja di daerah taklukan kakeknya, "Raja Jawa".(*)