Oleh Jefri Gultom*
TRIBUNNEWS.COM - Setelah 30 hari menjalani ibadah puasa, hari untuk merayakan kemenangan telah tiba.
Idul Fitri tahun 2021, 1442 H dirayakan masih dalam situasi yang sama yakni krisis global Pandemi Covid-19.
Tahun ini ada keistimewaan yang patut disambut dengan semangat solidaritas dan momentum meneguhkan toleransi karena ada dua hari besar keagamaan yang dirayakan di tanggal dan hari yang sama yakni Idul Fitri dan Kenaikan Isa Almasih. Tak seperti biasanya, haru biru silahturahmi dirayakan masih dengan keterbatasan.
Mudik dilarang, jarak perlu dijaga, sapa dan salam ditahan dulu, yang mungkin hanya senyum yang tersipu. Meskipun lebih intensif di ruang virtual, rasa syukur harus tetap dirayakan. Semua karena Covid-19, demi kita dan sesama.
Namun, saat ini dan lebih dari masa lalu, bangsa ini masih saja diterpa berbagai isu yang berpotensi memecah belah. Isu ini dimanipulasi atas nama kemerdekaan atau pemisahan diri oleh sebagian kelompok masyarakat.
Kita dan mereka berbeda.
Prof Eddy Kristianto OFM, dalam sebuah artikelnya pernah menulis bahwa saat ini beredar secara massif ideologi politis yang secara praktis membayangi warga bangsa untuk menggantikan ideologi hasil kesepakatan bersama, Pancasila. Hal ini ditandai dengan maraknya ujaran kebencian yang secara sengaja di media sosial dan banyaknya hoaks.
Bahkan gejala pemanfaatan adagium konflik antarkelas oleh gerakan samar, para pemburu kepentingan pun kian menjadi. Orang tampil soleh demi mengejar hasrat pribadi. Agama ditampilkan dalam kebohongan,dihayati dengan caci maki.
Di media sosial khususnya berseliweran tokoh-tokoh yang pandai bersembunyi di balik retorika tanpa maksud dan tujuan yang jelas. Hoaks makin dipercaya karena ada agama masuk dalam setiap ceramah para tokoh agama. Masyarakat pun kian tersekat.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan justru dipakai untuk memisahkan. Dalam mulut berbusa, lamunan indah kian meyakinkan. Simbol pemersatu dihayati dalam kegaduhan. Diekspresikan dalam aksi saling klaim kebenaran antar-kelompok.
Kebudayaan gotong royong sebagai pondasi tatanan publik mengalami kerusakan dari dalam. Padahal, saat kampanye sampai dilantik setiap pejabat publik menyatakan sumpah. Berdiri tegak, penuh keyakinan sembari memegang Kitab Suci. Pesan dan maknanya jelas bahwa jadi pemimpin itu untuk melayani, mengarahkan, mengatur pertanggungjawaban publik. Lebih dari itu, mempersatukan yang berjarak. Solidaritas bagi sesama manusia adalah sesama. Ia lahir sebagai pribadi yang bukan menekankan hanya pada kekhasan pribadinya, melainkan kebersamaan dalam hidup sosialnya.
Dalam kebersamaan itu manusia akan memahami bahwa hidup ini bukan melulu pada identitas pribadi ataupun sosial, tetapi bagian dari realitas sosial juga budaya. Lewat kebersamaan membuat orang semakin rendah hati untuk saling membantu.
Bahwa kehidupan itu sendiri adalah soal manusia dan martabatnya. Maka manusia tidak bisa mengikatkan diri pada satu aspek atau dimensi saja dalam hidupnya. Semua aktivitas manusia adalah keterkaitan antara hubungan-hubungan. Semakin dalam keterkaitan dan hubungan tersebut, manusia akan sadar mengenai hakekat hidupnya bagi sesama. Lebih dari itu, hidup itu terus bertumbuh. Ada proses belajar baik secara alamiah maupun formal. Dalam hal ini, selalu ada kesempatan untuk berdebat berbagi ide dan gagasan, ada saatnya juga untuk berbeda juga pilihan, bahkan ada saatnya untuk membenci, namun ada momentum pula untuk saling berbagi maaf, karena manusia bukan dibentuk hanya sebagai individu tapi juga pribadi yang bersosialitas.
Dari sisi itu, tentunya kita patut berbangga dan bersyukur bisa bekerjasama menjaga konteks keberagaman kita dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara hingga hari-hari ini, karena kita punya simbol pengikat. Hal ini yang selalu mengingatkan kita pada nilai dan norma yang dibangun sejak kita belum bersatu sebagai Indonesia hingga hari ini.
Perbedaan identitas itu adalah rekaan manusia yang dalam kerapuhanya, gampang tergoda oleh hal-hal duniawi. Manusia yang dalam pandangan Aristoteles sebagai zoon politikon, terkait, peran yang bersosialiasi dan hidup bermasyarakat. Dengan demikian keindonesiaan dalam banyak hal perlu dirintis dari pinggiran, perlu dimulai dari bawah dan dari keterbatasan bukan dari pusat kekuasaan dan metropolitan.
Pengalaman ini yang kemudian mewujud dalam semangat keadilan yang terus diperjuangkan hingga hari ini. Ini bentuk kemerdekaan dan penghargaan pada martabat manusia. Seperti biasanya yang tampak dan kita saksikan bersama adalah semangat gotong royong, bahu-membahu dengan caranya masing-masing semua insan bangsa ini bergerak menggalang beragam bantuan ketika di sebagian wilayah terkena musibah bencana alam ataupun semacamnya.
Awal tahun 2021 kita menyaksikan dan terbawa dalam rasa haru terkait sikap demikian berkesan dalam satu alunan sebagai konfirmasi atas terciptanya harmonisasi di rumah besar yang bernama Indonesia. Gerakan solidaritas itu bahkan masih berlangsung hingga umat Muslim sedang menjalankan puasa sampai tiba saatnya Idul Fitri. Pada konteks itu, dua hari besar keagamaan ini, mari kita rayakan sebagai momentum perjalanan menuju puncak untuk memenangkan martabat manusia.
Selamat Idul Fitri 1442 H, mohon maaf lahir batin.
*Jefri Gultom, Ketua Umum Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI)