Ia begitu semangat mengemumakan anti-tesa sejarah pada ‘takhayulisme’ yang digunakan untuk mengkaji data-data historis. Ia lebih menekankan pada sikap kritis yang membuatnya memperkenalkan banyak metode ilmiah pada ilmu-ilmu sosial. Ia juga menyusun metode historis yang lebih kuat dibanding takhayul untuk mengamati peran negara, komunikasi, propaganda dan bias sistematis dalam perkembangan historiografi.
Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah bab-bab awal berbicara tentang gejala-gejala yang membedakan antara masyarakat primitif, masyarakat kampung, desa, dengan masyarakat kota, modernis dalam kecenderungan dan dampak sosialnya.
Pada bab-bab akhir ia banyak berbicara tentang gejala-gejala yang berkaitan dengan cara berkumpulnya manusia, bagaimana ia membentuk komunitas, paguyuban, sampai berdirinya negara dan peradaban, serta menerangkan pengaruh faktor-faktor dan lingkungan geografis terhadap gejala-gejala ini.
Gagasan besarnya tertuang pada konsep Asabiyyah. Istilah ini sering dikaitkan dengan Nasionalisme, Klanisme atau Tribalisme, yang pada masa modern kini kita kenal dengan nama Nation-State (Negara-Bangsa) yang ini sebenarnya berasal dari konsep Ibnu Khaldun, yaitu konsep Asabiyyah. Konsep ini menggambarkan ikatan kohesi antara manusia dalam kelompok di semua tingkat peradaban mulai dari nomaden, negara hingga kekaisaran. Ia menjelaskan Asabiyyah ini terus berubah dalam siklus sejarah.
Dalam karya utamanya itu, Muqaddimah, Ibnu Khaldun menulis konsep ekonomi dan politik yang terhubung dengan pemikirannya terkait Asabiyyah. Ia menciptakan konsep pertumbuhan yang tinggi akan menstimulasi penawaran dan permintaan.
Dalam teori itu juga Ibnu Khaldun menyebut para pekerja, buruh kasar adalah harta karun, sumber utama dan nilai yang diperlukan untuk pendapatan serta akumulasi modal, juga arus utama kokoh tidaknya sebuah bangsa. Karena itu tak berlibahan jika dikatakan, tanpa Ibnu Khaldun, perkembangan ilmu sosial-humaniora tidak sepesat sekarang. Wallahu''alam bishawab.
* Pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon.