Oleh: Reza Indragiri Amriel
TRIBUNNEWS.COM - Lumba-lumba dikenal punya dorongan altruistik.
Mereka kerap menolong pihak lain yang hanyut di laut.
Bonobo, sejenis primata, mengatasi konflik di kalangan mereka dengan bercinta.
Kucing juga rela menyabung nyawa demi melindungi rumah tuannya dari serangan ular kobra.
Anjing pun demikian, dia serang intruder yang coba-coba mencuri properti tuannya.
Hewan "rendah" seperti tikus juga punya tata krama.
Saat disodorkan dua kotak, satu berisi coklat, satu berisi tikus yang sedang menderita, tikus akan mendahulukan berupaya menolong sejawatnya.
Baca juga: Pria di Cengkareng Dianiaya Tetangga hingga Tewas Gara-gara Hewan Piaraan Buang Kotoran Sembarangan
Beberapa potret itu menunjukkan bahwa satwa pun punya kemampuan memperagakan moralitas dalam berperilaku.
Alhasil, tersedia alasan untuk menyimpulkan bahwa di kalangan fauna pun ternyata ada standar moral.
Ada binatang yang bermoral, ada pula yang amoral.
Yang bermoral, diapresiasi.
Ini sudah banyak dilakukan.
Sedangkan binatang yang amoral, dengan demikian, layak tidak diapresiasi bahkan mungkin patut diberikan sanksi.
Dengan dasar berpikir demikian, apa yang bisa kita lakukan ke anjing rumahan yang buang air sembarangan?
Ceklah secara cermat.
Kalau problemnya pada fisik (organ pembuangan), bawa ke meja bedah.
Kalau masalahnya ada pada kemampuan buang hajat (toilet training), kursuskan di pawang yang lihai.
Seiring dengan itu, jangan abaikan pertanggungjawaban si pemilik anjing.
Royal Society for the Prevention of Cruelty to Animals (RSPCA), misalnya, melakukan semacam asesmen sebelum seseorang mengadopsi hewan peliharaan.
Bukan hanya hewannya, manusia yang akan mengadopsinya juga di-assess.
Kesiapan sarana dan prasarana, kecukupan finansial, komitmen untuk merawat dan mendidik hewan yang diadopsi, pemahaman akan hukum terkait hewan, dll. Itulah beberapa materi yang diujikan.
Lalu lakukan evaluasi.
Jika hewan ternyata melakukan perbuatan destruktif karena tidak terawat atau tidak dididik oleh pengadopsinya, maka hukum bisa difungsikan.
Dasarnya adalah Pasal 1368 KUHPer:
“Pemilik seekor binatang, atau siapa yang yang memakainya, adalah, selama binatang itu dipakainya, bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh binatang tersebut, baik binatang itu ada di bawah pengawasannya, maupun tersesat atau terlepas dari pengawasannya.”
Bagi pemilik hewan yang melanggar pasal itu dapat digugat dengan Pasal 1365 KUHPer:
“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.”
Bagaimana dengan sanksi pidana? Tersedia pasal 490 KUHP dengan ancaman kurungan enam hari atau denda tiga ratus perak bagi "barang siapa tidak mencegah hewan yang ada di bawah penjagaannya, bilamana hewan itu menyerang orang atau hewan yang lagi ditunggangi, atau dipasang di muka kereta atau kendaraan, atau sedang memikul muatan".
Tinggal lagi diperlukan tafsiran hukum bahwa hewan peliharaan yang pipis atau pup di pekarangan orang lain adalah sama dengan menyerang orang tersebut.
Nah, kembali ke kasus Cengkareng, boleh jadi hukum bekerja tidak sebatas pada satu orang saja.
* Reza Indragiri Amriel: Pernah bekerja sebagai edukator di Centre for Education and Research in Environmental Strategies