Berbeda dengan mereka yang dipaksa atau diekploitasi menjadi pelaku prostitusi, sehingga dapat disebut sebagai budak seks.
Pelaku prostitusi yang termasuk dalam tipe PSK (voluntary prostitute) meruntuhkan dasar berpikir UU TPPO bahwa prostitusi merupakan praktek perdagangan orang.
Unsur eksploitasi tidak ada di dalam praktik prostitusi seperti itu.
Prostitusi semacam itu secara sengaja dan sukarela tidak memfungsikan keberdayaannya--baik secara fisik, psikis, ekonomi, maupun sosial--untuk mengelak atau keluar dari dunia prostitusi.
Mereka bukan korban perdagangan orang, melainkan pelaku perdagangan layanan seksual.
Realitasnya, di sini ada kekacauan berpikir-bekerja. Prostitusi tidak dibenarkan, tetapi penindakan juga tidak bisa dilakukan secara menyeluruh akibat anggapan bahwa prostitusi adalah perdagangan orang.
Kekacauan itu memantik sinisme di tengah masyarakat. Getahnya mengena ke kepolisian.
Pemberian status korban kepada artis yang tertangkap basah sebagai pelaku prostitusi daring, dirasakan publik laksana menerabas pagar moral bahkan menggagahi akal sehat.
Atas dasar itu, ihwal tipe-tipe prostitusi mendesak untuk dimasukkan ke dalam revisi pasal-pasal--utamanya--UU TPPO dan UU KUHP.
Kriminalisasi terhadap pekerja seks komersial ditegakkan sebagai cara untuk menyumbat peluang dijadikannya prostitusi sebagai bidang profesi.
Merevisi UU butuh waktu tidak sebentar.
Agar tidak terjadi kekosongan hukum, dari pintu yang lain, masing-masing pemerintah daerah dapat menyusun larangan maupun mempertegas ancaman sanksi bagi pihak-pihak yang menyalahgunakan tempat-tempat penginapan sebagai lokasi transaksi narkoba, prostitusi, dan bisnis-bisnis terlarang lainnya.
Bersamaan dengan itu, sanksi sosial harus bisa ditegakkan tanpa menunggu revisi UU. Ambil misal, rumah-rumah produksi berhenti mengontrak artis yang kedapatan menjadi pelaku prostitusi.
Kepada artis-artis itu juga tak perlu disandangkan penamaan eufemistik. Alih-alih PSK, sebut saja mereka adalah pelaku prostitusi.
Komisi Penyiaran Indonesia dapat membuat ketentuan untuk memastikan para pelaku prostitusi daring tidak muncul di acara-acara yang disiarkan di layar kaca.
Audiens, teristimewa anak-anak, tidak sepantasnya mendapat pelajaran ngawur bahwa dengan diamankan polisi, pelaku prostitusi--artis justru semakin laris.
Juga, untuk memastikan para pelaku prostitusi artis itu tidak menjadi agen penyakit menular seksual, kepada mereka dikenakan wajib lapor sekaligus wajib periksa secara rutin di rumah sakit umum daerah.
Akhirul kalam, bolehlah ditanya apa sesungguhnya pekerjaan utama mereka, para artis yang di-OTT polisi saat menjajakan tubuh mereka.
Manakah sebutan yang lebih tepat: pelaku prostitusi yang menyambi sebagai artis ataukah artis yang menyambi sebagai pelaku prostitusi?