Dalam kondisi normal kita harus terbang menempuh jarak yang bisa jadi jauh untuk bertemu dengan mereka, dengan waktu yang kadang kala tidak bisa dibilang pendek.
Dengan demikian tehnologi sudah memangkas jarak dan waktu.
Dalam pertemuan virtual yang mulai bisa kita adakan sejak masa pandemi, atribut pakaian tidak lagi menjadi penting, make up bagi wanita juga menjadi tidak penting.
Kita cukup berbusana yang menampilkan kepatutan. Pandemi mengajarkan bahwa yang penting adalah esensi, bukan artificial, bukan aksesori.
Waktu juga menjadi lebih berharga, sebab dalam pertemuan fisik, kadang kita membuang waktu untuk menunggu pembicara hadir.
Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat komunal yang menyukai interaksi sosial, yang selama ini dilakukan secara temu muka.
Namun selama pandemi, kemampuan untuk menahan diri melakukan pertemuan dengan tujuan bersosialisasi, malah justru akan dihargai.
Selama pandemi, “kewajiban moral” untuk sowan kepada orang tua atau orang-orang yang kita hormati, kita ganti dengan cara virtual melalui video call.
Hal mana dalam kondisi normal, hal tersebut dianggap kurang pantas dan kurang tepat. Pandemi mengajari kita simplifikasi. Orang tua kita akan memaklumi kalau kita tidak sowan karena suasana terkini.
Kewajiban moral untuk melayat tetangga, kenalan, kerabat yang meninggal menjadi melunak.
Sebelum pandemi, bila kita tidak pernah datang melayat maka kita akan dicap sebagai orang yang asosial, tidak lumrah, namun pandemi mengubah hal itu menjadi sesuatu yang bisa dimaklumi.
Selama pandemi, perhelatan pernikahan juga mengalami penyederhaan. Sebelum masa pandemi, orang punya hajat biasanya akan menyesuaikan dengan status sosial ekonominya.
Makin makmur seseorang, makin besar pesta yang diadakan. Tidak demikian halnya dengan saat saat terakhir ini.
Pemberkatan pengantin di gereja, dibatasi jumlahnya, undangan juga dibatasi. Beberapa sudah mengubah gaya resepsi dengan model drive through, sehingga menghindari kontak fisik.