News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Diplomasi Semesta untuk Papua: Sebuah Urgensi

Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi: Kelompok separatis teroris Papua.

Oleh: Ristian Supriyanto & Fakhridho Susilo (*)

TRIBUNNERS - Kekerasan separatisme di Papua seperti tak kunjung reda. Kontak senjata antara aparat dan kelompok separatis Papua bahkan sampai merenggut nyawa Kepala Badan Intelijen Daerah (Kabinda) setempat pada 26 April 2021.

Tewasnya Kabinda menambah daftar panjang warga sipil dan aparat yang meninggal di Papua karena aksi kelompok tersebut sekaligus mengingatkan bangsa Indonesia akan ancaman terhadap keamanan dan integritas wilayah yang tetap ada dan nyata ditengah perhatian para pengambil kebijakan maupun masyarakat pada umumnya yang bergeser kepada persoalan pandemic Covid.

Ancaman kelompok separatis Papua ini tidak dapat dipandang semata-mata sebagai fenomena nasional atau lokal, melainkan perlu dipahami secara holistik lewat kacamata transnasional.

Di luar Eropa, Papua Nugini dan Australia kerap menjadi tempat pelarian dan basis kegiatan mereka. Meski demikian, adalah Vanuatu, sebuah negara kepulauan kecil di kawasan Pasifik Selatan, yang pemerintahnya secara terang dan jelas memberikan dukungan bagi kemerdekaan Papua serta memberikan suaka politik bagi organisasi United United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), corong utama gerakan separatis Papua di dunia internasional.

Baca juga: Penyerangan di Papua Barat, Pangdam XVIII/Kasuar: Pelakunya Kelompok Separatis Teroris

Dukungan Vanuatu memperkuat legitimasi ULMWP sebagai wakil internasional dari kelompok separatis pro-kemerdekaan Papua.

ULMWP menerapkan dua strategi utama dalam menyuarakan kemerdekaan Papua dan merusak citra pemerintah Indonesia di dunia internasional.

Strategi pertama adalah agitasi dan propaganda (agitprop) melalui teknologi, jaringan dan modal sosial global (global social capital). Viralnya video maupun foto yang memuat tindak kekerasan aparat menambah amunisi kelompok separatis teroris untuk mendiskreditkan apapun langkah pemerintah guna meningkatkan stabilitas keamanan di Papua, termasuk melalui UU Otonomi Khusus ‘Jilid 2’.

Meski tujuan jangka pendek agitprop adalah membeberkan dan menyiarkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) oleh oknum aparat, agitprop ini menjurus pada penguatan narasi referendum yang menyerukan kemerdekaan Papua sebagai tujuan jangka panjang.

Baca juga: Humas Polda Papua Barat: Tidak Ada Penangkapan Ketua KNPB Sektor Kisor

Sampai batas tertentu, strategi agitprop ULMWP berhasil menggalang dukungan tokoh agama, wartawan, cendekiawan, politisi, dan kemanusiaan di tingkat internasional.

Penerima nobel asal Afrika Selatan, pendeta Desmond Tutu, ialah salah satunya. Tokoh-tokoh lain termasuk cendekiawan Noam Chomsky dan wartawan Allan Nair asal Amerika Serikat, serta beberapa politisi di Australia and Selandia Baru terutama mereka yang berasal dari politik sayap kiri seperti Partai Hijau.

Keterlibatan tokoh-tokoh tersebut, di samping dukungan Vanuatu, turut mempercepat internasionalisasi isu Papua. Hasilnya, isu Papua selalu mengemuka dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) beberapa tahun belakangan ini.

Yang menjadi motor penggerak isu tersebut tiada lain ialah Vanuatu beserta beberapa negara Pasifik Selatan lainnya, seperti Kepulauan Solomon dan Tuvalu.

Meskipun Indonesia lewat instrumen negara telah secara konsisten melawan pergerakan kaum separatis tersebut, misalnya lewat kiprah apparat keamanan di lapangan dan para diplomatnya di PBB.

Namun fakta bahwa pihak teroris separatis semakin lihai dalam memadukan hard dan soft power dalam rangka memperjuangkan tujuan politiknya tentunya menjadi suatu tantangan yang tidak bisa dianggap remeh oleh pemerintah Indonesia.

Diplomasi Semesta Sebagai Sebuah Paradigma

Permasalahan separatisme di Papua menuntut ‘diplomasi semesta.’ Menurut mantan Gubernur Lemhannas, Budi Susilo Soepandji, diplomasi semesta mampu mengakar dalam jejaring nasional dan internasional sehingga memiliki daya gedor atau multiplier effect yang efektif.

Dalam diplomasi semesta terjadi kesinambungan pemahaman dan interaksi antara pemangku kebijakan luar negeri dan pemangku kepentingan nasional lainnya dalam menjawab tantangan eksternal geopolitik bangsa Indonesia.

Langkah pertama dalam konteks diplomasi semesta dalam menghadapi separatisme Papua adalah melakukan re-orientasi proyeksi pengaruh geostrategis Indonesia ke arah Asia Pasifik – Oceania.

Dengan populasi ras Melanesia sejumlah 13 juta jiwa yang tersebar di lima provinsi di Indonesia (Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara dan Nusa Tenggara Timur) – jauh lebih banyak dari total populasi negara-negara Melanesia lain di Pasifik seperti Papua Nugini, Vanuatu, Kepulauan Salomon, serta Fiji yang mencapai sekitar 10 juta orang – sudah saatnya Indonesia memainkan peran yang lebih sentral dalam memimpin bangsa-bangsa Melanesia di kawasan Pasifik.

Saat ini Indonesia adalah Associate Member dari Melanesian Spearhead Group (MSG) dan juga observer dari Pacific Islands Forum (PIF).

Indonesia tentunya menghadapi pilihan apakah akan memobilisasi sumber daya politik dan finansialnya untuk membentuk forum baru, atau memanfaatkan jaringan kerja sama yang sudah ada dalam menggolkan kepentingan Indonesia.

Dalam menempuh pilihan-pilihan tersebut diperlukan determinasi, konsistensi serta kreativitas dan inovasi. Satu hal yang pasti, Indonesia perlu terus merintis upaya untuk menjadi motor penggerak kemajuan dan suara sentral di wilayah Pasifik melalui berbagai forum.

Inovasi Duta Besar Tantowi Yahya dalam membentuk Pacific Elevation menunjukkan bahwa inisiatif non-formal yang tidak mengikat, dengan ruang diskusi dan kerjasama yang luas juga dapat menjadi alternatif model pendekatan ke Pasifik.

Isu Papua menjadi penentu dalam perhitungan proyeksi kepentingan Indonesia di Pasifik. Namun demikian, hal tersebut jangan sampai menafikan berbagai aspek penting lainnya seperti hubungan people-to-people, kerja sama ekonomi, pemanfaatan sumber daya alam dan keamanan maritim.

Dari perspektif ekonomi, skala, kapasitas dan kapabilitas Indonesia jauh mengungguli negara-negara di kepulauan Pasifik. Total Produk Domestik Bruto (PDB) Papua Nugini, Fiji, Vanuatu, dan Kepulauan Solomon hanya berkisar 30 persen dari Indonesia.

Dengan kapasitas ekonomi yang besar, seluruh pemangku kepentingan di Indonesia, baik pemerintah maupun non-pemerintah, termasuk kelompok bisnis, bisa mengevaluasi kerja sama pembangunan yang selama ini sudah terjalin dengan Pasifik.

Pada tahun 2019, Pemerintah Indonesia telah membentuk ‘Indonesian AID’. Lembaga ini harus bermanfaat sebagai instrumen untuk memenuhi tujuan nasional Indonesia, khususnya dalam menjaga kedaulatan dan martabat bangsa, selain mendukung agenda pembangunan nasional dan penguatan hubungan bilateral Indonesia dengan negara lainnya.

Selanjutnya, diplomasi semesta perlu menggandeng seluruh elemen warga bangsa, utamanya pelajar dan komunitas warga negara Indonesia di luar negeri.

Berbagai simpul organisasi pelajar Indonesia di luar negeri, mesti diberdayakan sebagai duta bangsa dalam kerangka people-to-people diplomacy, khususnya terkait dengan isu-isu Papua.

Komunitas diaspora Indonesia, bersama dengan pelajar Indonesia di luar negeri sebagai agen intelektual diharapkan selain membawa citra positif terhadap Indonesia, juga dapat mengajak masyarakat luar negeri untuk lebih memahami permasalahan yang terjadi di Papua secara obyektif dan berimbang, sehingga narasi-narasi negatif dan agitatif yang dibangun oleh jaringan gerakan separatisme Papua tidak diterima mentah-mentah.

Lebih lanjut, diplomasi semesta perlu mengedepankan aspek dan pendekatan sosial-budaya Papua sebagai instrumen soft power.

Dalam konteks ini, Pemerintah Indonesia perlu terus menguatkan upayanya dalam memperkenalkan budaya Papua dan Indonesia Timur ke dunia.

Hal ini untuk menanggulangi dan menepis kesalahpahaman yang tercipta dari narasi para avonturir dan oportunis politik-ekonomi yang mengambil keuntungan dari konflik di Papua.

Lewat diplomasi semesta, harapannya bangsa Indonesia dan generasi kepemimpinan nasional saat ini dapat menghimpun seluruh kekuatan dan simpul politik, ekonomi, dan sosial-budaya yang ada untuk menuntaskan isu Papua.

(*)
1. PhD Candidate at Coral Bell School of Asia Pacific Affairs, The Australian National University

2. PhD Candidate at Crawford School of Public Policy, The Australian National University. Anggota Dewan Pengawas PPI Dunia 2021-2022 dan Anggota Dewan Penasehat PPI Australia 2021-2022.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini