Oleh: Karyudi Sutajah Putra
TRIBUNNEWS.COM - Spekulasi mengenai siapa calon Panglima TNI pengganti Marsekal Hadi Tjahjanto tampaknya sudah saatnya diakhiri.
Sebab, Presiden Joko Widodo sudah memberi isyarat Jenderal Andika Perkasa, yang saat ini menjabat Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD), sebagai pengganti Hadi Tjahjanto yang akan pensiun November nanti.
Bahkan bisa jadi itu isyarat langit melalui Jokowi.
Saat ini beredar spekulasi dua calon kuat pengganti Hadi Tjahjanto yakni KSAD Jenderal Andika Perkasa dan Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Yudo Margono.
Ada pula calon yang dispekulasikan bakal menjadi kuda hitam, yakni Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Fadjar Prasetyo dan Panglima Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat (Pangkostrad) Letnan Jenderal Dudung Abdurachman.
Diberitakan, saat meninjau alat utama sistem persenjataan (alutsista), termasuk kendaraan taktis (rantis) milik TNI di tengah peringatan HUT ke-76 TNI di sekitar Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (5/10/2021), Presiden Jokowi sempat melontarkan candaan kepada Ibu Negara Iriana Jokowi yang turut menyaksikan perangkat keras militer tersebut.
Baca juga: Seloroh Presiden Jokowi, KSAD Jenderal Andika Sopiri Ibu Negara Naik Kendaraan TNI
Dalam guyonannya, Jokowi mengatakan Andika Perkasa nantinya yang akan menjadi sopir kendaraan taktis TNI yang akan ditumpangi istrinya itu.
"Mau naik yang mana? Biar yang nyetir Pak Andika," kata Jokowi.
Sepintas memang bisa dimaknai sekadar guyonan atau bercanda belaka.
Tapi jika ditelisik lebih dalam, terutama dari sisi tipikal kepemimpinan Jokowi yang lekat dengan budaya Jawa, apa yang dilontarkan Jokowi itu bisa jadi merupakan sebuah isyarat.
Bahkan mungkin isyarat dari langit ketika Jokowi ternyata tanpa sadar mengucapkan hal tersebut.
Orang Jawa sering memaknai segala sesuatu dari apa yang tersirat, bukan apa yang terucap atau tersurat.
Sebagai seorang pemimpin yang berasal dari etnis Jawa, Jokowi pun kerap menggunakan isyarat, simbol atau idiom untuk menyampaikan sesuatu.
Adapun spekulasi mengenai calon Panglima TNI berasal dari matra mana, apakah darat, laut atau udara, terus berkembang karena hingga kini Presiden Jokowi tak kunjung mengirimkan nama calon ke DPR RI untuk dilakukan fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan) guna mendapatkan persetujuan DPR RI, sesuai amanat Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang (UU) No 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Ada spekulasi, terjadi tarik-ulur yang sangat alot di Istana, antara kubu pendukung Andika Perkasa dan kubu pendukung Yudo Margono.
Track records keduanya relatif sama, tanpa cela, meski keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Namun Andika lebih diunggulkan.
Pertama, karena selama ini peran TNI AD memang sangat dominan.
Kedua, Andika adalah menantu mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) AM Hendroproyono yang bersama Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan berjuluk “Three Muskeeters” atau “Tiga Penembak Jitu”, yang diduga menjadi “pembisik” ampuh bagi Presiden Jokowi.
Yudo Margono pun tak kalah unggul.
Ini bagi yang berpegang teguh pada ketentuan undang-undang, yakni Panglima TNI dijabat secara bergiliran antar-matra.
Pasal 13 ayat (4) UU TNI berbunyi, “Jabatan Panglima sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dijabat secara bergantian oleh Perwira Tinggi aktif dari tiap-tiap Angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan.”
Namun, itu bila kita memaknai pasal tersebut secara harfiah atau saklek. Jika kita maknai lebih dalam, apa yang tersirat, yang dimaksud bergiliran tidak otomatis per periode.
Jadi, ketika Panglima TNI saat ini dijabat oleh matra udara, setelahnya tidak harus langsung dijabat matra lain. Bisa dari matra udara lagi, kemudian matra lain.
Ini peluang emas bagi KSAU. Hal sama pernah terjadi ketika Panglima TNI berganti dari Moeldoko ke Gatot Nurmantyo.
Moeldoko dan Gatot sama-sama dari matra darat. Pengganti Gatot adalah Hadi Tjahjanto dari matra udara. Apa pengganti Hadi harus dari matra laut? Jika berpegang pada Pasal 13 ayat (4) UU TNI secara saklek, memanglah demikian.
Akan tetapi Presiden punya hak prerogratif, hak yang tak bisa diintervensi siapa pun.
Sepanjang tidak melanggar konstitusi dan undang-undang, Presiden bisa melakukan apa pun sesuai kehendaknya.
Termasuk dalam memilih Panglima TNI. Ketika nanti Jokowi memilih Panglima TNI bukan dari matra laut, tidak otomatis dianggap melanggar undang-undang. Bergiliran tidak harus per periode.
Apalagi Panglima TNI adalah jabatan politis. Indikatornya, seorang calon Panglima TNI harus mendapatkan persetujuan dari DPR RI.
Kalau DPR RI menolak, tak bisa dia menjadi Panglima TNI.
Ini sesuai amanat Pasal 13 ayat (2), (5) dan (7) UU TNI. Urusan apa pun, kalau sudah masuk ranah DPR RI, tak bisa dilepaskan dari nuansa politik.
Selain itu, dalam memilih orang kepercayaannya, ada pertimbangan kenyamanan.
Jokowi pun akan memilih Panglima TNI yang dapat memberikan dia kenyamanan.
Faktor utama kenyamanan adalah trust (kepercayaan) dan kedekatan psikologis, di samping kemampuan menerjemahkan visi, misi dan program Jokowi.
Di sini akan terjadi chemistry (kesenyawaan).
Alhasil, spekulasi tentang siapa Panglima TNI yang baru tampaknya sudah saatnya diakhiri.
Presiden Jokowi sudah menyampaikan isyarat (langit) tentang pilihannya: Andika Perkasa. Apa pun pertimbangannya, itu hak prerogratif Presiden, dan tidak otomatis dimaknai melanggar UU TNI.
Tapi bila ternyata Jokowi memilih Yudo Margono, itu pun akan lebih baik, demi keadilan antar-matra.
Bila akhirnya Jokowi memilih Fadjar Prasetyo atau bahkan Dudung Abdurachman, itu juga tak dilarang, karena itu hak prerogratif Presiden.
*Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media, Tinggal di Jakarta.