Oleh: Abdul Rachman Thaha (ART)
Anggota Komite I DPD RI
Mari kita tidak nihilkan kerja-kerja kebaikan polisi.
Polri sejak dulu berupaya meyakinkan publik bahwa mereka telah melakukan kerja-kerja penegakan hukum atas berbagai peristiwa di tengah masyarakat.
Tapi bisa dibilang sangat sedikit orang yang tahu tentang bagaimana Polri menjatuhkan sanksi apalagi memberlakukan hukum pidana kepada para personelnya yang mencederai masyarakat dan bertindak tidak profesional lainnya.
Dalam bingkai itu, kabar positif datang dari kasus "smackdown" di Kabupaten Tangerang.
Polri berjanji akan memberikan tindakan tegas terhadap personelnya yang melakukan aksi "smackdown" terhadap mahasiswa.
Baca juga: Fariz Tak Balas Pelukan Brigadir NP yang Minta Maaf karena Dibanting Saat Lagi Demo di Tangerang
Kesanggupan untuk mengenakan sanksi, lalu menyampaikannya ke publik, saya nilai sebagai cara membangun budaya akuntabilitas di lingkungan Polri.
Tiga nilai dalam budaya akuntabilitas yang terefleksikan dari penjatuhan sanksi itu adalah integritas, responsibilitas, dan transparansi.
Memang, penyikapan yang bisa dilakukan sesungguhnya tidak sebatas pada lingkungan organisasi semata.
Mekanisme hukum formil pun bisa diselenggarakan untuk memaksimalkan akuntabilitas kepolisian tersebut.
Pastinya, perlu disisir kasus demi kasus, agar tidak setiap misconduct oleh personel Polri ditangani secara pidana.
Menilai bahwa pengenaan sanksi bagi personel merupakan langkah yang sangat baik, saya menantikan adanya data lengkap dari Polri tentang bagaimana pendisiplinan dan pemidanaan itu telah dilakukan secara internal.
Ketersediaan data tentang hal itu tidak semestinya dipublikasikan secara insidental sebagai respon atas kegemparan di publik.
Baca juga: Tak Berhenti Pegang Lehernya, Fariz Mahasiswa yang Dibanting Polisi Saat Demo Jalani Rontgent Thorax
Polri tidak usah khawatir bahwa data semacam itu akan mendelegitimasi dirinya. Justru ketersediaan data, sebagai refleksi kejujuran (transparansi) institusi Polri, akan meyakinkan masyarakat tentang kesanggupan korps Tribrata menjadi agen perubahan sosial.
Bahwa, polisi tidak hanya menegakkan hukum di masyarakat, tapi juga menegakkan hukum di jajarannya sendiri.
Kembali ke masalah "smackdown". Dikabarkan bahwa personel bersangkutan membanting mahasiswa secara refleks.
Pengakuan tersebut justru memunculkan pertanyaan, bagaimana sesungguhnya program diklat bagi personel Brimob.
'Refleks' mengindikasikan bahwa penggunaan kekerasan mengabaikan tata urutan (prosedur) penanganan yang semestinya.
Alhamdulillah, mahasiswa itu masih hidup dan relatif sehat. Dibanting keras dengan risiko mencederai tulang punggung dan bagian kepala, di mata saya sangat mengerikan.
Kelumpuhan, gegar otak, koma, itulah yang sempat saya bayangkan.
'Refleks' juga menggambarkan lemahnya kontrol emosi personel bersangkutan.
Pada titik itulah saya ingin mengingatkan Polri agar selalu meng-upgrade kurikulum diklat personelnya.
Termasuk diklat Brimob. Jangan sampai, sadar tak sadar, ketegasan ekstra yang Polri lakukan sebagai respon terhadap situasi pandemi juga meluber ke pola-pola pengamanan aksi penyampaian aspirasi.
Tak dapat disangkal, 'demi menghentikan pandemi' jangan sampai mengekang demokrasi.