Oleh Moch S Hendrowijono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Membangun daerah supaya warga bisa maju bersama, tidak semudah membalik tangan. Lihat saja bagaimana upaya membangun jaringan telekomunikasi di Indonesia, yang kaya dengan 17.000 lebih pulau, bergunung-bukit dan hutan.
Hingga saat ini masih ada 26,5 juta warga yang belum terlayani fasilitas telekomunikasi khususnya 4G, di antara 271 juta penduduk Indonesia.
Fasilitas seluler di Indonesia sudah ada sejak 36 tahun lalu, dan hampir semua operator seluler mengklaim layanan mereka mencakup 92% - 95% populasi.
Tetapi International Telecommunication Union (ITU) dalam ICT Index-nya tahun 2017 menyebut Indonesia ada di urutan ke 111 dari 176 negara di dunia, di bawah Vietnam, Brunei, Filipina dan Thailand.
Memang beda dengan Singapura, Malaysia, Vietnam, Filipina, yang sudah hidup modern secara digital, ekonominya maju, PDB (produk domestik bruto)-nya tinggi.
Ketersediaan fasilitas telekomunikasi (fastel) sering dikatakan berbanding lurus dengan peningkatan PDB.
Saat fastel masih berbentuk kabel, setiap 1% pertambahan pelanggan akan berdampak pada 4% peningkatan PDB.
Baca juga: Sambut Wisman di Bali, XL Siap Perkenalkan Jaringan 5G
“Di telekomunikasi nirkabel, dampaknya bisa sampai 10 persen,” kata pengamat telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Ian Josef Edward, dalam satu bincang-bincang lewat zoom.
Baca juga: Susul Indosat, Fren Jajaki Merger dengan XL Axiata
Ketika Bakti (Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi) sebagai BLU (badan layanan umum) dari kementerian Kominfo membangun akses telekomunikasi di daerah 3T (tertinggal, terluar dan terdepan), ekonomi setempat tiba-tiba bangun.
Baca juga: Kembangkan Ekosistem 5G, ATSI: Operator Butuh Dukungan Pemerintah
Produk lokal berupa kerajinan, bisa dipajang di dunia maya dan pembeli pun muncul dari segala penjuru dunia, potensi wisata setempat yang semula hanya bisa diratapi, kini didatangi turis dari segala penjuru.
Pelajar bisa menyerap ilmu dari internet sehingga meningkatkan pengetahuan mereka, konsultasi kesehatan bisa dilakukan, semua lewat jalur telekomunikasi seluler.
Teknologi terbaru IoT (Internet of Things) membuat pertanian rumput laut di Tual, Maluku Tenggara, bisa dikontrol dari Jakarta, cara penyemaian, pemberian pupuk dan sebagainya, yang panennya sebanyak empat kali lipat dibanding dikelola dengan cara tradisional.
Tetapi Tual tidaklah termasuk daerah 3T. Dari 83.218 desa dan kelurahan di Indonesia, masih ada 12.548 yang belum terjamah 4G.
Kalaupun ada fasilitas telekomunikasi di beberapa di antaranya, itu masih generasi 2 (2G) atau 3G.
Mengangkat nasib
Dari jumlah 12.548 desa tadi, masih 9.113 masuk golongan 3T dan menjadi sasaran Bakti untuk membangun fasilitas telekomunikasinya, sisanya yang 3.435 desa lainnya di luar 3T, akan dibangun operator seluler, semuanya akan selesai pada 2020.
Bagian untuk operator seluler, infrastrukturnya dibangun Bakti, mereka tinggal mengoperasikannya. Bakti tidak hanya membangun prasarana telekomunikasi, mereka sekaligus mendorong manusia mengubah nasib.
Salah seorangnya, pemuda dari Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT), Migel Arifen Aries Dano (33) atau Miji, yang buta gara-gara ditabok gurunya saat SMA, sempat stres dan kecewa dengan hidupnya.
Tahun 2020 ia ikut pelatihan gratis dari Bakti Kominfo, bagaimana cara menggunakan ponsel, cara berbisnis, e-commerce, dan berjualan dengan ponselnya, dan ia berhasil.
Semula ia hanya melihat di kampungnya Rotendao, ikan kerapu dan kakap dijual murah, padahal di Kupang harganya mahal sekali.
Miji pun mencoba membuat ikan asap, lalu menawarkannya di media sosial dengan cara yang ia dapat dari pelatihan, ternyata ikan asapnya laku keras.
Tidak berhenti sampai di situ, ia ajari kawan-kawan sesama penderita cacad (difabel) untuk belajar dan mampu menghidupi dirinya, sejajar dengan orang yang normal.
Sama juga yang dilakukan oleh Echy Pramitasari (29) yang lumpuh kedua kakinya akibat kecelakaan lalu lintas di Lampung ketika sedang imut-imutnya, 17 tahun.
Ia mendirikan organisasi ParaDifa, berupaya mengentaskan mereka yang senasib, memberi harapan hidup normal dengan berbagai pendidikan dan latihan.
Pada 2020, bersama Bakti, Paradifa menyelenggarakan pelatihan untuk 1.790 orang difabel, sebanyak 256 di antaranya dari daerah 3T, yang tidak hanya lumpuh atau secara fisik, tetapi juga difabel sensorik, mental dan intelektual.
Mereka diberi pelatihan dan uji kompetensi TIK, program office, desain, e-commerce, google sheet dan google form.
Apa yang dilakukan Echy diamini oleh Kadiv Perencanaan Strategis Bakti, Yulis Widya Marfiah, yang mengatakan, Bakti menyelenggarakan berbagai pelatihan di sektor pariwisata, kesehatan dan publik, gratis untuk semua.
Termasuk para difabel yang khusus diberi pelatihan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) secara daring dan mendapat sertifikat kemampuan yang bisa digunakan sebagai referensi untuk bekerja.
Jumlah difabel di Indonesia 22,5 juta penduduk menurut data dari BPS (Badan Pusat Statistik), di antaranya hanya 34,89% yang punya ponsel atau laptop, dan hanya 8,5% yang mampu memanfaatkan internet.
Data ini yang membuat Bakti Kominfo bergerak, sambil berenang minum air, meluaskan layanan telekomunikasinya dan menyebar pengetahuan TIK tetapi tidak hanya ke para difabel, yang harus dientaskan.
Memberi fasilitas telekomunikasi, mengangkat derajat mereka, mendorong difabel semangat untuk hidup dan berkarya sehingga tidak kalah dengan orang normal.
*) Penulis adalah mantan editor Harian Kompas dan pengamat telekomunikasi