Oksidentalisme Hassan Hanafi, Jalan Kedaulatan Kita
Oleh: KH. Imam Jazuli,Lc.MA*
TRIBUNNEWS.COM - Hassan Hanafi (1935-2021), seorang doktor filsafat dari Universitas Sorbonne, Paris, Prancis (1966), pergi meninggalkan pusaka yang berharga: oksidentalisme atau al-istighrab. Kita banyak berhutang budi pada Hanafi dalam hal membangun relasi ideal antara Barat dan Timur. Terlebih dalam cara membaca literasi timur, literasi barat, dan menyikapi realitas hari ini.
Dalam karyanya berjudul “Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istighrab”, Hassan Hanafi mengingatkan, selama ini gerakan kritik kita kepada Barat sangat sedikit dan dilakukan tanpa metode dan logika argumentatif. Gerakan-gerakan perbaikan yang kita lakukan, pembaruan, pendidikan, dan peraturan hanya mencukupkan diri pada asas iman atau membela membabi buta kepentingan-kepentingan hukum (Hanafi, 1991: 15).
Sementara peradaban Barat digambarkan oleh Hassan Hanafi sebagai lahir dari perlawanan terus-menerus terhadap otoritas pusat (al-markaz). Jika sumber otoritas itu tidak sesuai dengan akal rasional, tidak menjawab kebutuhan zaman, maka mereka segera membangun pengetahuan rasional, alamiah dan kemanusiaan yang berpijak pada perangkat pengetahuan baru. Mereka berpijak pada metode historis, marxis, sosiologi, humaniora, sebelum kemudian mengkritisi kembali prinsip-prinsip epistemologinya (Hanafi, 1991: 17).
Pada mulanya, menurut Hassan Hanafi, peradaban Eropa memang mengingkari kemapanan (al-tsabat) karena prinsip perubahan (al-taghayyur). Tetapi, pada gilirannya mengingkari perubahan, karena tidak ada lagi hal lain selanjutnya (la syai-a tsaniyan). Karenanya, Hanafi menyebut peradaban Eropa ‘katathawwurin sharfin duna bina-in’. Sebuah perkembangan murni tanpa kemapanan (Hanafi, 1991: 17).
Dengan spirit perubahan terus-menerus, Peradaban Eropa kata Hassan Hanafi berhasil menjadi simbol al-Taghrib atau westernisasi. Bukan saja mempengaruhi kebudayaan dan cara pandang melihat kehidupan, tetapi pengaruh Eropa juga merambah pola hidup sehari-hari, kebiasaan berbahasa, bahkan style bangunan. Hassan Hanafi mencontohkan kata-kata Perancis yang merasuki dan mengubah penulisan bahasa Arab (Hanafi, 1991: 22).
Santri-santri Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon menyadari betul kegelisahan intelektual Hassan Hanafi. Itu tidak saja terjadi di dunia Arab yang terjajah Perancis, dalam pengalaman personal Hassan Hanafi. Tetapi juga menimpa Indonesia, yang terjajah bukan saja oleh peradaban Barat tetapi juga oleh peradaban Timur, seperti Jepang, China, Korea, dan lainnya.
Perhatikanlah bagaimana generasi milenial kita terpeso dan mabuk cinta oleh drama-drama Korea, anime-anime Jepang, dan produk-produk China yang bahkan berupa kebutuhan sehari-hari ibu rumah tangga di dapur. Kita tidak perlu jauh-jauh bicara media sosial, seperti instagram, whatsapp, twitter, facebook, youtube, yang sudah jelas itu lahir dari peradaban Barat, Amerika.
Namun, sebagaimana saran-kritis dari Hassan Hanafi, santri-santri Pesantren Bina Insan Mulia dilarang untuk membela agama dan negara secara membabi buta; mengkritik Barat tanpa metodologi dan logika argumentatif. Al-Istighrab (oksidentalisme) secara akar bahasanya saja adalah mempelajari Barat; menjadikan Barat sebagai objek riset dan observasi. Belajar ke Barat tidak untuk mengamaninya, tetapi sebakal bekal awal saja untuk mendialogkannya dengan warisan leluhur sendiri.
Belakangan ini, penulis lihat sedang ada ueforia di lingkungan akademisi untuk mempelajari manuskrip-manuskrip Walisongo. Di satu sisi, euforia semacam itu penting. Dalam terminologi Hassan Hanafi, itu bisa disebut sebagai ‘al-turats al-qadim’ atau literatur klasik. Kekayaan ini harus dipertahankan, dilestarikan dan dikembangkan.
Tetapi, di sisi lain, al-turats al-qadim itu harus berdialog dengan al-turats al-gharbi atau literatur Barat. Jika dua komponen ini terpenuhi, tahap ketiganya barulah layak bicara realitas kebutuhan umat, bangsa dan negara hari ini atau al-waqi’ al-basyir (Hanafi, 1991: 12). Hari ini, Barat adalah simbol sains dan teknologi. Dan Indonesia kita sebagai negara berkembang, cukup telat mengejar ketertinggalan ini.
Al-Istighrab (oksidentalisme) atau mempelajari Barat ala Hassan Hanafi tidak boleh berhenti di atas podium ceramah kaum akademisi, melainkan harus membuahkan hasil nyata di tangan para praktisi. Kalau memang diperlukan, karya-karya Hassan Hanafi dapat dijadikan “kitab suci” pergerakan kita sebagai bangsa Indonesia, yang tidak saja sedang dijajah Barat tetapi juga oleh Peradaban Timur.
Bina Insan Mulia Cirebon hanya bisa menyumbang usaha kecil, dengan mengirim para santri ke Eropa, Australia, China, dan Timur Tengah untuk mengkaji mereka dan mempelajari mereka; bukan semata-mata belajar dari mereka. Tidak untuk dijadikan budak yang dikorbankan dan mati dalam narasi besar peradaban mereka, tetapi untuk mengabdi bagi kepentingan nasional, umat, dan tentu agama.
Sebab, persoalan oksidentalisme ini begitu licin seperti belut. Mereka yang gagal merantau dalam mempelajari peradaban asing, pulang-pulangnya ingin bangsa dan negara sesuai apa yang merek dapatkan di perantauan. Jika ini yang terjadi maka mereka sama saja sebagai kepanjangan tangan dan lidah kelompok orientalisme, sebagai neokolonialis baru. Ini bukan praktik oksidentalisme ala Hassan Hanafi.
Dalam sejarah kebangsaan kita, ada banyak figur-figur oksidentalis yang berhasil. Sebut saja Ir. Soekarno dan Muhammad Hatta (alumni Eropa) atau Hasyim Asy’ari dan Ahmad Dahlan (alumni Timur Tengah). Mereka tidak ingin mengubah Indonesia seperti Eropa dan Timur Tengah, karena mereka bukan orientalis melainkan oksidentalis. Ini yang gagal dipahami generalis milenial hari ini, yang kebetulan lulusan Barat dan Timur Tengah.
Melalui ajarannya tentang al-Istighrab (oksidentalisme), Hassan Hanafi telah banyak berjasa bagi kita, dalam memetakan jalan lurus ke depan meraih kedaulatan. Dalam konteks kebangsaan kita, Hassan Hanafi membukakan jalan berdaulat dari penjajahan Peradaban Barat maupun Timur. Nyata adanya kita tidak sedang dijajah peradaban Amerika dan Eropa, tetapi juga oleh Peradaban Negara-negara Adidaya Asia lainnya, sebut saja China, Jepang, Korea, dan lainnya. Wallahu a’lam bis shawab.
*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.