Kitab Kuning dan Manhaj Al-Fikr Bahtsul Masail; Sekali Lagi Respons Atas Tulisan KH.Imam Jazuli
Oleh. Mukti Ali Qusyairi, Ketua LBM PWNU DKI Jakarta
TRIBUNNEWS.COM - Sekali lagi saya terkejut dengan satu tulisan KH. Imam Jazuli—selanjutnya disebut Kiyai Imam—yang berjudul “Cryptocurrency dan Sikap Progresif LBM NU DIY”. Tulisan tersebut nampaknya hendak mengapresiasi hasil keputusan LBM DIY tentang crypto. Akan tetapi, ada satu ajakan yang lebih substansial dan relevan untuk direspons yang terselip di dalam narasi besarnya yaitu soal manhaj al-afkar (metodologi berfikir) bahtsul masail. Sebab sejatinya ajakan Kiyai Imam lebih kepada bagaimana metodologi berfikir bahtsul masail bisa dinamis, berkembang, dan bisa dibicarakan serta didiskusikan kembali. Sedangkan crypto sebagai kasuistik atau sebagai namudaj (sample) persoalan saja.
Membincang Manhaj al-Afkar Bantsul Masail
Metodologi merupakan piranti atau alat yang dapat membentuk pola pikir, perspektif, dan epistemologis seseorang dalam melihat persoalan. Seperti pisau. Jika kita memotong wortel dengan pisau yang bergerigi, maka hasil potongan-potongan wortelnya yang berbentuk bergerigi dan bergelombang. Jika pisaunya lurus dan halus maka potongan wortelnya pun hasilnya akan halus dan tak bergelombang.
Menurut al-Hamudah, pemikir Mesir, bahwa metodologi itu bisa digambarkan seperti kacamata. Apakah kaca yang digunakan berbentuk datar, cekung, cembung, atau warna bening, hitam, merah atau yang lainnya yang akan menentukan bentuk dan warna obyek yang dilihat. Karena itu, metodologi sangat menentukan pada proses dan hasil rumusan akhirnya.
Di Lembaga Bahtsul Masail (LBM) sendiri sudah ada divisi masail manhajiyah (metodologi), selain juga waqi’iyah (realitas keseharian), qanuniyah (undang-undang dan hukum negara), dan maudhu’iyah (tematis). Lalu LBM PWNU DKI Jakarta menambahkan divisi masail kharijiyah-dauliyah (luar negeri-internasional). Sehingga adalah absah jika Kiyai Imam mengajak mendiskusikan manhaj al-afkar Bahtsul Masail, sebab persoalan metodologi merupakan bagian dari persoalan yang mendapatkan perhatian khusus dari LBM.
Selama ini, ada beberapa metodologi berfikir yang sudah digunakan para aktivis LBM, di antaranya yaitu ushul fikih (filsafat hukum Islam), qawa’id al-fiqhiyah (rambu-rambu fikih), maqashid al-syari’ah (tujuan-tujuan universal syariat), dan al-mashalih al-mursalah yang dalam diskursus keislaman diposisikan sebagai piranti, perangkat, atau alat untuk menganalisa serta membangun paradigma fikih. Manhaj al-afkar (metodologi) tersebut biasanya digunakan oleh kalangan aktivis bahtsul masail ketika aqwal al-‘ulama (pendapat-pendapat ulama kuno) belum atau tidak ditemukan untuk menjawab persoalan-persoalan kekinian yang secara kebetulan belum dibahas oleh para ulama kuno.
Akan tetapi jika ada persoalan yang sudah dibahas oleh ulama kuno di kitab-kitab kuning yang memiliki titik-titik persamaan dengan persoalan kekinian secara substansial dan ada perbedaan dalam ranah prosedural dan aspek formalnya, maka persoalan kekinian tersebut disamakan status hukumnya dengan persoalan yang sudah dibahas ulama kuno tersebut. Ini disebut metode ilhaq. Ilhaq mirip dengan qiyas. Perbedaannya yaitu bahwa ilhaq adalah metode mempersamakan persoalan baru dengan persoalan lama yang dibahas ulama kuno di kitab kuning lantaran keduanya memiliki persamaan substansial yang bisa ditarik ke level persamaan hukum. Sedangkan qiyas (analogi) yaitu mempersamakan persoalan baru dengan persoalan lama yang ada di dalam Al-Quran dan hadits sebab ada titik persamaan yang mempertemukan keduanya (al-jami’).
Bahtsul masail sebagai ijtihad kolektif biasa juga menggunakan tiga tahapan metodologi yaitu; takhrij al-manat (mengeluarkan alasan-alasan satu hukum), tanqih al-manath (menyeleksi alasan-alasan), dan tahqiq al-manath (memastikan alasan dan argumentasi hukum).
Pembahasan persoalan-persoalan kemanusiaan, para ulama seringkali memberi syarat dan rambu-rambu “asal tidak mudarat (membahayakan) atau mafsadat (merusak)” atau “asal ada maslahat” tanpa memberi penjelasan lebih lanjut bagaimana bentuk mudarat dan maslahat secara mendetail dan rinci dengan berpijak pada kaidah-kaidah seperti “akhaffu al-dhararayn” (mengambil mudarat yang lebih ringan), “tasharruf al-imâm ‘alâ al-ra’îyyah manûth bi al-mashlahah” (kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya harus berdasarkan kemaslahatan), “dar` al-mafâsid muqaddam ‘alâ jalb al-mashâlih” (mencegah kerusakan harus didahulukan daripada mengambil kemaslahatan), dan kaidah-kaidah fikih yang lainnya.
Syarat maslahat dan mudarat mengindikasikan bahwa fikih merupakan disiplin ilmu yang bersifat terbuka dan memberi ruang seluas-luasnya bagi pengetahuan yang dapat mendeteksi bagaimana bentuk maslahat dan mudarat. Jika berkaitan dengan ekonomi makro/mikro, maka para ulama membuka pintu dan menyerahkan panggung kepada para pakar dan pelaku ekonomi mikro/makro untuk menjelaskan sesuai dengan pengetahuan dan pengalamannya tentang maslahat dan mudharat terkait ekonomi mutakhir.
Demikian juga dalam persoalan sosial, ekonomi, politik, lingkungan, agraria, sains, teknologi, dll., fikih membuka pintu dan memberikan panggung kepada para ahli untuk berbicara sesuai dengan kapasitas dan pengetahuannya tentang maslahat dan madharat di bidangnya masing-masing. Soal crypto, misalnya, sebagaimana yang disebutkan Kiyai Imam, maka panggung diserahkan ke pakar dan pelaku ekonomi makro/mikro, pelaku dan pelaku crypto, serta analis dan pengamat yang independen dan kritis untuk berbicara agar menghasilkan pengetahuan yang berimbang dan memadai. Dengan demikian, maka fikih bersifat dinamis sehingga tercipta apa yang disebut dengan ijtihâd jamâ’îy (ijtihad kolektif), kolaborasi antara ulama fikih dan berbagai ahli berbicara soal tema tertentu sesuai dengan bidangnya masing-masing.
Ijtihad kolektif kerap dilakukan oleh para ulama Al-Azhar Kairo Mesir dengan menghadirkan para dokter, ahli genokologi, kependudukan, gender, ekonomi, sanis, teknologi, dan berbagai ilmu pengetahuan modern lainnya.
Di masa klasik, hubungan fikih dengan sains memiliki hubungan yang mesra. Bahkan sains bisa menjadi salah satu dasar ijtihad dalam memutuskan hukum. Hal ini karena fikih selalu terkait dengan maslahat dan madharat (kerusakan). Sebab yang mengetahui maslahat atau madharat, atau manfaat atau ghurur (tipuan) hanya ahli di bidangnya. Tak bisa seseorang memutuskan sesuatu itu mengandung unsur kerusakan hanya berdasarkan asumsi semata. Bukti kemesraan fikih dan sains adalah bahwa tak sedikit ulama fikih klasik yang juga ahli ilmu kedokteran, filsafat, ekonomi, sains, dan politik. Ibn Rusyd, misalnya, seorang ulama multi-dimensional, selain ahli fikih dan bahkan pada masanya pernah menjadi Hakim Agung, Qâdhîy al-Qudhât, yang menulis fikih perbandingan dalam kitabnya, “Bidâyah al-Mujtahid wa al-Nihâyah al-Muqtashid”, juga seorang ahli kedokteran yang pengetahuan kedokterannnya dituliskan dalam kitab “Kullîyyât al-Thibb”, dan seorang filsuf paripatetik Islam yang dikenal sebagai komentator terbaik terhadap karya-karya filsafat Aristoteles.
Ibn Rusyd sebagai seorang ahli fikih dan bahkan hakim, memiliki wawasan sangat luas tentang berbagai hal terkait dengan mudarat dan maslahat dalam persoalan kemanusiaan, kesehatan, mudarat dan maslahat dalam persoalan politik, keumatan, kenegaraan, dll., sehingga dalam memberikan keputusan hukum syariat bisa lebih bijak.
Boleh dibilang, manhaj al-afkar bahtsul masail—sebagaimana para ulama kuno semacam Ibnu Rusydi—yang menghasilkan rumusan yang maksimal salahsatunya adalah dengan menggunakan approach (pendekatan) multi disipliner dan multi approach. Bukankah yang dimaksud Kiyai Imam bahwa rumusan sikap dan pendapat keagamaan sangat ditentukan oleh metodologi yang digunakan?