Oleh: Karyudi Sutajah Putra
TRIBUNNEWS.COM - Entah siapa yang mulai menafsirkan “Jangka” atau Ramalan Jayabaya.
Atau sekadar “uthak-athik-gathuk”, ilmu “cocoklogi” atau mencocok-cocokkan Ramalan Jayabaya dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi kemudian?
Yang jelas, Jangka Jayabaya hingga kini banyak yang meyakini masih bertuah.
Berdasarkan penafsiran itu, atau ilmu “cocoklogi” itu, beberapa ramalan Jayabaya yang sudah terbukti kebenarannya disebut antara lain "Pulo Jowo kalungan wesi" (Pulau Jawa berkalung besi), yang ditafsirkan sebagai rel kereta api di sepanjang Pulau Jawa yang dibangun sejak zaman Belanda.
Lalu, "kreta tanpa jaran" (kereta tanpa kuda), yang ditafsirkan sebagai keteta api dan mobil; “prau mlaku ning awang-awang" (kapal berjalan di angkasa), yang ditafsirkan sebagai pesawat terbang; “Pulo Jowo dadi loro" (Pulau Jawa menjadi dua), yang ditafsirkan sebagai terpisahnya Pulau Jawa dan Pulau Sumatera akibat erupsi Gunung Krakatau yang terjadi pada 26 Agustus 1883; dan yang paling populer adalah Nusantara akan dipimpin oleh nama-nama yang inisialnya "No To No Go Ro".
“No” ditafsirkan sebagai Presiden I RI, Soekarno; “To” adalah Presiden II RI, Soeharto; “No” berikutnya adalah Presiden III RI Bacharuddin Jusuf Habibie. Habibie berarti "cinta", dalam bahasa Jawa berarti "tresno", ada “No”-nya.
Baca juga: Suami Istri Tewas Terjebak di Truk saat Erupsi Gunung Semeru, Bodi Kendaraan Terkubur Lahar Panas
“Go” ditafsirkan sebagai Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Presiden IV RI, dan juga “No” dari “Rahman” yang berarti “tresno”.
“Go” juga ditafsirkan sebagai Megawati Soekarnoputri, Presiden V RI. Presiden VI RI, Susilo Bambang Yudhoyono, juga ada “No”-nya.
Bagaimana dengan Presiden VI RI, Joko Widodo?
Konon nama kecil Jokowi adalah Mulyono, jadi ada unsur “No”-nya.
Kini, di antara nama-nama kandidat calon presiden 2024 yang beredar, apakah ada yang mamanya mengandung unsur "No To No Go Ro"?
Berdasarkan hasil survei sejumlah lembaga, ada tiga nama yang paling diunggulkan sebagai capres 2024, yakni Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan, dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Prabowo Subianto ada unsur “Ro”-nya, yakni P”ra”-bowo.
Anies Rasyid Baswedan juga ada unsur “Ro”-nya, yakni “Ra”-syid.
Sedangkan Ganjar Pranowo ada unsur “Go”-nya, (“Ga”-njar), dan juga “Ro” (P”ra”-nowo), serta “No (Pra-“No”-wo).
Jadi, Ganjar punya tiga unsur inisial sekaligus.
Alhasil, jika ketiganya maju sebagai capres dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, siapapun yang terpilih, akan sesuai dengan “pakem” Jayabaya, yakni “No To No Go Ro”.
Erupsi Semeru
Dikutip dari Wikipedia, Prabu Jayabaya adalah Raja Kediri yang memerintah sekitar tahun 1135-1157.
Nama dan gelar lengkapnya adalah Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa.
Erupsi atau letusan Gunung Krakatau yang terjadi pada 1883 pun diyakini tidak luput dari Jangka Jayabaya.
Dikutip dari sebuah sumber, Krakatau dikenal dunia karena letusan yang sangat dahsyat pada 26 Agustus 1883.
Awan panas dan tsunami yang diakibatkannya menewaskan sekitar 36.000 jiwa.
Sampai sebelum 26 Desember 2004, saat terjadi tsunami Aceh, tsunami akibat erupsi Krakatau adalah yang terdahsyat di kawasan Samudera Hindia.
Suara letusan itu terdengar sampai di Alice Springs, Australia dan Pulau Rodrigues dekat Afrika, 4.653 kilometer.
Daya ledaknya diperkirakan mencapai 30.000 kali bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, 6 dan 9 Agustus 1945.
Erupsi Gunung Semeru di Lumajang, Jawa Timur, Sabtu (4/12/2021) sore pun dikait-kaitkan dengan Jangka Jayabaya.
Salah satunya oleh Permadi SH, tokoh supranatural yang juga mantan anggota DPR RI dari PDI Perjuangan.
Saat dihubungi penulis, Rabu (8/12/2021), letusan Semeru itu tak bisa dilepaskan Permadi dari ramalan Prabu Jayabaya.
Bahkan, menurutnya, letusan yang lebih dahsyat akan terjadi pada Semeru, gunung tertinggi di Pulau Jawa, itu.
Letusan Semeru, kata Permadi, pertanda di Indonesia akan terjadi “goro-goro” atau “chaos” (kerusuhan).
“Semeru akan meletus lebih dahysat lagi. Itu pertanda akan terjadi ‘goro-goro’,” ujar Permadi.
Permadi memprediksi, apa yang terjadi dengan Semeru itu baru letupan kecil. Letupan yang lebih besar akan terjadi dalam waktu dekat.
“Jadi, warga di sekitar Semeru harus waspada dan mempersiapkan diri, jangan sampai timbul korban lagi,” jelas Permadi.
Begitu pun warga di sekitar Gunung Merapi di Jawa Tengah, Gunung Sinabung di Sumatera Utara, dan Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, Lampung, diminta Permadi untuk waspada dan melakukan antisipasi dini.
“Antisipasi dini harus dilakukan, kalau tidak mau jadi korban,” pintanya.
Mengapa semua itu terjadi dan apa penyebabnya? Permadi berdalih, “Alam sudah murka melihat perilaku manusia.
Terjadi ‘samat-sinamatan’ (saling mengamati) antara alam dan manusia.
Ketika manusia bertindak tidak baik kepada alam, merusak alam, misalnya, maka alam pun akan bertindak tidak baik kepada manusia, dengan merusak manusia dan lingkungannya.
Gunung meletus, banjir bandang dan tanah longsor itu pertanda alam sedang murka.”
Ditambah dengan banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi di mana-mana, Permadi menganalisis secara supranatural letusan Gunung Merapi itu pertanda akan munculnya “goro-goro” atau “chaos”, baik kerusuhan sosial maupun kerusuhan politik.
“Demo buruh, demo mahasiswa, dan sebagainya itu akan menuju ke arah sana (‘goro-goro’),” paparnya.
Namun, kata Permadi, setelah “goro-goro” reda nanti, akan muncul Satriya Piningit atau Ratu Adil yang akan menjadi pemimpin Indonesia yang adil, arif dan bijaksana, serta berhasil mengantarkan bangsa ini ke zaman kejayaan atau era keemasan.
“Sesudah ‘goro-goro’ akan muncul Ratu Adil,” tegasnya.
Apakah “goro-goro” itu bisa dicegah atau diatasi, menurut Permadi, tak seorang pun bisa mencegah atau mengatasinya, siapa pun dia, karena itu sudah “pakem” alam atau kehendak Tuhan.
“Goro-goro itu adalah cara alam dan Tuhan menegur manusia. Adapun bencana alam adalah cara alam menyembuhkan luka-lukanya akibat ulah manusia,” papar Permadi.
Sementara itu, dikutip dari sejumlah media, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, jumlah korban jiwa akibat erupsi Gunung Semeru, per Kamis (9/12/2021), bertambah menjadi 39 orang.
Sementara 13 orang lainnya dilaporkan masih hilang, dan sedikitnya 6.022 warga sekitar Semeru mengungsi di 115 titik.
Benarkah Semeru akan erupsi kembali dengan kekuatan lebih dahsyat? Begitu pun Merapi, Sinabung dan Anak Krakatau? Semoga prediksi Permadi tersebut sekadar analisis supranatural belaka!
* Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media, Tinggal di Jakarta.