News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

KH.Imam Jazuli: Ini Alasan Kenapa Peraturan Pengeras Suara Masjid&Musalla; oleh Menag Perlu Dicabut

Editor: Husein Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

KH. Imam Jazuli, Lc. MA, alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.

Ini Alasan Kenapa Peraturan Pengeras Suara di Masjid dan Musalla oleh Menag Perlu Dicabut

Oleh: KH. Imam Jazuli Lc., MA.

TRIBUNNEWS.COM - Menteri Agama Yaqut Qalil Qoumas resmi menerbitkan surat edaran mengenai aturan pengeras suara masjid terbaru. Peraturan tersebut tertuang dalam Surat Edaran Menteri Agama No SE 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. 

Berdasarkan pernyataan Menag, aturan pengeras suara di masjid atau musalla merupakan kebutuhan bagi umat muslim khususnya di Indonesia. Namun disisi lain, terdapat keberagaman baik agama, suku bangsa, adat istiadat, bahasa dan lain sebagainya.

Dengan alasan itulah perlu dilakukan upaya untuk merawat persatuan dan kesatuan negara. Surat edaran yang diterbitkan pada 18 Februari 2022 lalu itu ditujukan untuk seluruh kepala Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi. Kepala Kantor Kemenag kabupaten/kota, Kepala Kantor Urusan Agama kecamatan.

Selanjutnya diteruskan kepada Ketua Majelis Ulama Indonesia, Ketua Dewan Masjid Indonesia, Pimpinan Organisasi Kemasyarakatan Islam, dan Takmir/Pengurus Masjid dan Musala di seluruh Indonesia. Sebagai tembusan, edaran ini juga ditujukan kepada seluruh Gubernur dan Bupati/Wali Kota di seluruh Indonesia.

Pedoman ini agar menjadi pedoman dalam penggunaan pengeras suara di masjid dan musala bagi pengelola (takmir) masjid dan musala dan pihak terkait lainnya," tutur Menag. Salah satu aturan pengeras suara masjid terbaru dijelaskan, volume pengeras suara di masjid dan musala maksimal 100 desibel. 

Jika alasan utama aturan itu dibuat demi merawat kesatuan bangsa, karena Indonesia terdapat keberagaman agama, pertanyaan penting pertama adalah, kenapa aturan itu tidak dibuat untuk bersama, yaitu umat agama lain? Dan, bukan hanya untuk umat muslim?

Pertanyaan ini penting diajukan, karena faktanya di daerah Bali misalnya, alunan wedha di pura-pura cukup banyak dan masif dengan volume yang juga cukup besar. Tidak hanya itu, bunyi-bunyian yang menandai masuknya waktu sembahyang bagi umat hindu juga cukup keras, bisa lebih keras dari suara adzan.

Begitu juga suara-suara dari gereja-gereja, di daerah-daerah tertentu, juga sering terdengar lonceng yang amat keras dan suara lantang jemaat memabawakan kidung-kidung suci kristen. Jadi menerbitkan edaran peraturan itu harus terlebih dulu melakukan kajian mendalam, sehingga kebijakan publik bisa memenuhi kaidah imparsialitas, yaitu berlaku adil untuk semuanya.

Kenapa imparsialitas ini penting? Agar produk hukum yang dibuat ini bisa netral dari keberpihakan, serta terhindar dari sikap bias dan prasangka, mengadili, dan memutus perkara secara sempit. Ini ditujukan untuk mencegah konflik kepentingan, keberpihakan, serta menjaga kehormatan dan kewibawaan prodak hukum.

Imparsialitas juga memastikan bahwa prodak hukum bukan untuk golongan tertentu, melainkan untuk semuanya dengan asas semua sama di mata hukum dan perundang-undangan, serta obyek perkara beserta elemen-elemen lain di luar bisa dihindari berdasar hukum, fakta, dan nurani yang bersih.

Imparialitas juga mengandung bahwa etika dan hukum dibuat untuk menjaga dan mencegah reputasi prodak hukum yang rusak, dan diharapkan tetap terhormat dan sulit diselewengkan. Atas dasar itu, tentu aneh bila prodak hukum hanya sepihak dan bisa membuat janggal publik.

Sekali lagi, sangat disayangkan, pengaturan tersebut tidak mencakup semua rumah ibadah dari seluruh agama di Indonesia. Jika, hanya masjid dan mushalla yang diatur, seakan-akan ada kesan hanya suara dari masjid dan mushalla yang potensial "mengganggu" kenyamanan bersama.

Kedua, alasan diterbitkan peraturan tersebut adalah untuk memberikan kenyamanan bersama dan meningkatkan keharmonisan. Penting disini untuk dikaji interpretasi soal rasa aman ini. Karena kenyataannya di kampung-kampung yang homogen dan mayoritas beragama Islam, suara adzan, bacaan Al-Qur'an, selawatan, maupun pengajian justru menghadirkan rasa "aman", eling dan bisa menjadi hiburan spiritual tersendiri.

Lalu soal keharmonisan? Justru secara fakta, konsep tafahum atau saling memahami dan tasamuh (toleransi) antar masyarakat terkait pengeras suara dari masjid dan musalla sudah terbentuk sejak puluhan tahun dan tidak ada yang terganggu secara serius.

Penulis setuju, mememberikan rasa aman bagi orang lain sendiri merupakan ajaran Islam, dan memerhatikan kenyamanan, ketentraman, ketertiban, serta keharmonisan di tengah masyarakat merupakan bagian dari ciri ketakwaan seseorang, tetapi fakta, selama ini secara umum tidak ada keluhan terkait penggunaan pengeras suara masjid dan musala di Tanah Air.

Justru dengan adanya SE Menag terkait aturan penggunaan pengeras suara di masjid dan musala ini, polemik dan perdebatan publik muncul, tentu saja kegaduhan ini justru menghadirkan rasa tidak aman itu sendiri. Jadi sudah selayaknya aturan tersebut dicabut. Karena, selain tidak memenuhi kaidah hukum imparsial juga kehadirannya terkesan hanya membatasi syiar dan dakwah Islam.

Wallahu'alam bishawab.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini