Menghormati Tamu dan Budaya Pesantren.
Oleh : KH. Imam Jazuli, Lc.MA.
TRIBUNNEWS.COM - Ada banyak penjelasan dari hadist Nabi SAW mengenai kemuliaan dan keutamaan bagi mereka yang menghormati tamunya. Menghormati tamu adalah bagian dari komitmen keimanan. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya,” (HR. Bukhari).
Nabi SAW sangat menghormati tamunya. Tidak saja dalam pelayanan, bahkan Nabi SAW sangat menjaga perasaan si tamu. Ada kisah dimana Rasulullah SAW kedatangan tamu yang membawa kurma.
Entah karena standar yang rendah soal kematangan kurma yang dipakai tamu tersebut atau karena kurang diseleksi, ternyata kurma yang dihadiahkan ke Rasulullah SAW tersebut belum masak. Tentu rasanya masih masam.
Para sahabat yang berada tidak jauh dari situ menunggu-nunggu kapan dipanggil oleh Rasulullah untuk ikut menikmati kurma tersebut karena memang biasanya seperti itu. Dari pandangan mata para sahabat tersebut, Rasulullah SAW menunjukkan bahasa tubuh yang menikmati kurma itu sehingga si tamu itu merasa sangat senang.
Sampai akhir tidak satu pun sahabat yang dipanggil Rasulullah untuk ikut menikmati kurma itu. Setelah tamu itu pergi barulah para sahabat mengetahui bahwa kurma yang diberikan si tamu masih agak belum enak untuk dikonsumsi.
Itulah sekilas contoh bagaimana Rasulullah SAW menghormati tamunya.
Di kalangan ulama tasawuf, ada kisah yang sangat populer terkait menghomati tamu ini. Kisah itu pernah terjadi pada seorang ulama besar, namanya Syekh Hatim Al-‘Asham yang wafat pada 237 H. Kenapa beliau sampai dijuluki “Al-‘Asham” atau yang tuli?
Al-kisah, suatu hari beliau kedatangan tamu. Ulama besar ini memang telah mewakafkan dirinya untuk urusan publik. Artinya, rumah beliau memang terbuka untuk umum guna menemukan pembahasan dan penyelesaian urusan publik.
Suatu hari, seorang tamu perempuan datang. Tamu itu ingin mendapatkan pencerahan seputar problem yang dihadapi. Perempuan itu menceritakan persoalannya, tapi karena perutnya tidak beres, perempuan itu kentut di ujung ceritanya.
Ulama besar itu paham apa yang dirasakan perempuan yang tengah punya problem itu. Selain marah kepada dirinya juga malu dan sangat malu karena telah kentut di hadapannya. Apa yang dilakukan Syekh Hatim terhadap tamunya?
Syekh Hatim menunjukkan bahasa tubuh seolah-olah tidak terganggu dengan apa yang terjadap tamu perempuan itu. Dan ketika si tamu bertanya, Syekh Hatim minta agar pertanyaannya dikeraskan supaya si tamu berkesimpulan bahwa beliu tidak mendengar kentunya.
Sejak saat itulah beliau mendapat julukan ulama yang “tuli” atau lebih tepatnya berpura-pura tidak mendengar untuk menjaga aib tamunya.