Oleh : Sukron Makmun *)
SEJARAH mencatat, hubungan Indonesia-Tiongkok telah berjalan selama berabad-abad. Bangsa Tiongkok sudah melewati Indonesia dalam perjalanan ke Asia Selatan, Timur Tengah, Afrika dan Mediterania.
Di samping melalui jalur darat ke Asia Tengah dan Timur Tengah, mereka juga telah mengarungi perairan Indonesia. Petualangan Cheng Ho ke Samudera Hindia adalah contoh masyhurnya. Tiongkok juga terlibat dalam perdagangan hasil bumi Indonesia, seperti rempah-rempah dan lain-lain.
Hubungan diplomatik Indonesia-Tiongkok sejak April 1950 mengalami pasang surut. Indonesia pernah membekukan hubungannya dengan Tiongkok (1967). Kendati demikian, beberapa kerjasama antar keduanya praktis tetap berjalan.
Selama rentang 1970-1990 keduanya tetap memperlihatkan kerjasama saling pengertian selama Konferensi Hukum Laut PBB ke-3 (1973-1982) sampai Konvensi Hukum Laut PBB tersebut diberlakukan (1994).
Keduanya berusaha mengembangkan suatu hukum laut yang menjamin kepentingan-kepentingan negara berkembang dan negara pantai, serta kepentingan lainnya, khususnya kepentingan negara-negara maritim waktu itu, agar tidak mengganggu kepentingan negara-negara pantai di bidang pelayaran (Tiongkok waktu itu sedang berusaha kembali menjadi menjadi ‘negara maritim’ sebagaimana juga Indonesia). Hubungan dipolimatik keduanya kembali pulih pada tahun 1990.
Baca juga: Bertemu Dubes Tiongkok, Daniel Johan Dorong Tingkatkan Kerjasama Bilateral Indonesia-Tiongkok
Pada 2015 kerjasama keduanya semakin meningkat sejak AIIB (Asia Infrastucture Investment Bank) diluncurkan oleh 57 negara di Beijing termasuk Indonesia. AIIB mencakup 10 negara ASEAN, sementara negara ASEAN yang bergabung dalam TPP (Trans Pacific Partnership) besutan Amerika (AS) baru Brunei, Malaysia, Singapura dan Vietnam.
Kerjasama Indonesia-Tiongkok menjadi makin menonjol dengan adanya kebijakan ‘maritime silk road’ Tiongkok yang ingin memanfaatkan potensi laut bagi pengembangan hubungannya dengan negara-negara luar, terutama Asia dan Afrika. Ini sejalan dengan kebijakan Indonesia yang ingin mengembangkan ‘maritim axis’ antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia.
Untuk mensukseskan kebijakan ini, Indonesia berencana membangun /mengembangkan 24 pelabuhan di seluruh negeri serta transportasi/ infrasruktur, termasuk pembangunan jalan raya, rel kereta api, bandara, jaringan listrik dan waduk-waduk. AIIB dan Tiongkok dapat berperan positif untuk kepentingan ini.
Kerjasama ini tidak menghalangi hubungan Indonesia dengan negara-negara yang selama ini telah bermitra baik seperti AS, Jepang dll. Apalagi saat ini Indonesia adalah pemegang mandat presidensi G20, sebuah forum penting bagi negara-negara yang memiliki pengaruh ekonomi global secara sistemik. Posisi Indonesia semakin diperhitungkan.
Politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif, terbuka untuk menjalin hubungan kerjasama dengan semua negara tanpa pandang bulu, selama tidak merugikan kepentingan nasional. Persaingan antara AS dan Tiongkok tidak lantas membuat Indonesia terjerumus memilih hanya berkawan pada salah satunya. Indonesia adalah penyeimbang di antara keduanya, demi terwujudnya tatanan dunia yang damai, adil dan makmur.
Peran Indonesia di Laut China Selatan
Laut China Selatan (LCS) kerap menjadi isu internasional. Indonesia bukan pihak dari ‘konflik teritorial’ tersebut, karena tidak memiliki klaim wilayah atas pulau-pulau/karang yang diklaim Tiongkok.
Pasca insiden di gugus Fiery Cross antara Tiongkok dan Vietnam (1988), Indonesia secara non formal menginisiasi perdamian dan stabilitas di LCS dengan mengikutsertakan negara-negara ASEAN lainnya. Indonesia sejak 1989/1990 telah mengembangkan forum untuk mengelola potensi konflik di LCS.