2). Respon kebijakan sejumlah negara maju menahan laju inflasi dengan menaikkan suku bunga acuan secara serial membuat tekanan pada sektor moneter.
The Fed Rate setidaknya telah menaikkan suku bunga acuan hingga 225 basis point sejak awal tahun ini.
Dua pukulan sekaligus kita terima, pertama tren kenaikan Yield SBN 10 tahun terus merambat naik sejak awal tahun dan memuncak pada Juli lalu yang mencapai 7,30 persen.
Kedua kecenderungan nilai tukar rupiah terhadap US Dolar juga naik.
Efek terhadap kedua pukulan pada sektor keuangan ini berkonsekuensi kita harus menanggung biaya dana (cost of fund) yang naik.
Kendati rasio utang pemerintah perlu Juli 2022 menunjukkan penurunan ke level 37,91 persen PDB.
Tetap saja kecenderungan kita menghadapi kewajiban imbal hasil SBN yang cenderung naik.
Permintaan terhadap USD sebagai kewajiban pembayaran utang dan perdagangan, termasuk di pasar keuangan mengakibatkan penyediaan dana untuk USD akan lebih mahal.
3). Situasi ekonomi dunia yang tidak menentu telah meningkatkan banyak negara terjerumus dalam hutang tidak sehat. IMF memprediksikan lebih dari 60 negara akan rontok ekonominya, dan gagal bayar utang.
Situasinya kurang lebih sama dengan apa yang dihadapi oleh Sri Lanka saat ini. Revolving Risk naik tajam.
Ibarat rumus politik, kehancuran ekonomi bisa berujung pada krisis politik dan keamanan. Oleh sebab itu kita harus mewaspadai situasi ini pada tahun politik mendatang.
4). Perang Ukraina dan Rusia tampaknya belum ada tanda tanda akan berakhir. Karena perang inilah harga komoditas dunia, termasuk energi melambung tinggi.
Embargo yang dilakukan Amerika Serikat dan sekutunya terhadap produk produk Rusia yang menjadi rantai pasok global terhenti dengan serta merta.
Tidak banyak negara memiliki produk subtitusinya dengan cepat. Supply and demand berjalan pincang, kenaikan harga tidak terhindarkan.