Keberadaan HBS yang merupakan kerja sama Kemkominfo dengan swasta ini berkapasitas 160 Gbps (gigabit per detik). Sebesar 80 Gbps akan dipakai pemerintah dan layanan publik, lalu 70 Gbps untuk swasta nasional dan sisanya yang 10 Gbps untuk keperluan negara-negara ASEAN.
Dengan tambahan HBS, kapasitas tersedia untuk kebutuhan akselerasi digital sektor pemerintahan akan mencapai 230 Gbps, sebesar 150 Gbps di antaranya disediakan Satria-1.
Satelit HBS dalam proses pembangunan oleh Boeing di Amerika, seperti halnya HTS Satria-1 yang dibuat di Perancis dan keduanya akan diluncurkan roket SpaceX dari Amerika.
20.000 terminal
Sementara Hughes Network System (HNS) bertugas menyiapkan dan menginstalasi perangkat stasiun bumi. Saat ini, HNS sedang menginstal 20.000 terminal bagi layanan publik untuk sekolah, puskesmas, kantor desa, pos perbatasan TNI dan pos polisi di kawasan 3T.
Boeing selain produsen pesawat komersial juga memiliki dua unit bisnis berskala besar, salah satunya kontraktor pertahanan dan ruang angkasa yang dioperasikan Boeing Defense, Space and Security (BDS). Produksi HBS ada di lini bisnis BDS, menyediakan satelit untuk pemerintah dan satelit untuk komersial.
BDS yang tahun silam meraup pendapatan 26,5 miliar dolar, cukup dikenal di sejumlah negara ASEAN. Selain Indonesia, Singapura, Malaysia dan Thailand menggunakan produk dan layanan BDS.
Sebenarnya bisa saja menyewa satelit dari negara tetangga. Namun satelit merupakan perangkat strategis dan demi kedaulatan, Indonesia harus memiliki satelit sendiri dan dioperasikan sendiri.
Satelit HBS dikendalikan dari Indonesia dan sebanyak 18 stasiun bumi telah disiapkan yang terdapat di 14 titik atau gateway. Sementara gateway utama berada di Cikarang.
Boeing memastikan HBS akan diluncurkan pada kuartal pertama 2023, lebih dahulu dari Satria-1. Satelit Hot Back-Up akan beredar lebih dulu di posisi slot orbit 113 bujur timur. (*)
*) Moch S Hendrowijono adalah Jurnalis Senior Telekomunikasi dan Mantan Editor Harian Kompas