Hasilnya tidak bisa diprediksi, kadang pasar menerima ikan dengan harga murah, kadang agak tinggi. Jenis ikan di perairan Raja Ampat macam-macam, ada bawal, tuna, sarden, tetapi harga penerimaan ikan beberapa pasar di Sorong berbeda-beda, dan makan waktu banyak kalau ia harus berkeliling mencari harga terbaik.
Ikan yang cukup laku memang tuna, yang dengan panjang 60 – 70 sentimeter bisa terjual Rp 500.000. Dan tuna banyak sekali di perairan ini, sehingga di Sorong ada warung makan khusus, Republik Seafood, yang menunya rahang tuna dan dada tuna.
Awal tahun, sebelum berlayar nelayan Yensawai harus naik ke puncak bukit untuk menjala sinyal telekomunikasi untuk berkomunkasi dengan pasar di Sorong. Yang didapat harga 4 hari sebelum mereka sampai di Sorong, dan beda ketika mereka tiba di pasar, bisa tinggi atau rendah. Kalau akhirnya harus rugi waktu berlayar empat hari, kata Spencer, perjalanan dianggap piknik saja.
Satelit Satria dan HBS
Kini dengan adanya BTS (base transceiver station), yang mereka sebut Towér di sebelah gedung SD sumbangan seorang konglomerat dari Jakarta, keadaan berbalik. Lewat jasa towér itulah dalam sekejap ia bisa mendapat harga yang bagus lewat komunikasi WA atau telepon.
Baca juga: Lewat SheHacks, IOH Berdayakan Ribuan Ribuan Wanita
Sekali pergi rata-rata bisa dapat bersih sejuta rupiah. Pulang membawa sembako, pakaian baru, beli hape baru – Spencer punya hape Samsung S7 dan vivo – juga beli BBM untuk kapal, dan untuk generator listrik.
BTS Telkomsel yang dibangun Bakti – Badan Aksesibilitas Telekomunikasi – berkapasitas 8 MHz untuk penduduk 150 jiwa, memadai bagi anak sekolah mengunduh bahan pelajaran. November tahun depan akan ada dukungan tambahan ketika satelit Satria 1 dan HBS (hot back up satellite) beroperasi. Keduanya satelit satelit HTS (high throughput satellite) berkapasitas 150 Gbps untuk melayani 150.000 titik di kawasan 3T (tertinggal, terdepan dan terluar).
Towér jelas melancarkan usaha para pembuat kusen kayu besi, nelayan, maupun yang biasa menembak babi hutan sebagai yang jadi hama. Penduduk yang rata-rata beragama Nasrani tidak makan daging babi, “Dilarang Bijbel (Injil),” kata Spencer. Daging babi bisa dijual dengan harga Rp 10 juta hingga Rp 20 juta, tetapi tidak setiap waktu ada yang mencari.
Spencer dan semua tetangganya lebih beruntung dibanding saudara-saudara mereka yang tinggal di kawasan lain Papua. Tidak semua tempat bisa dipasangi menara BTS, membuat penduduknya masih terkucil dari layanan telekomunikasi. Jangankan mengunduh video, berinternet atau berhubungan dengan dunia luar. Ponsel dengan sekadar standar ISO, iso muni (bisa bunyi) saja tidak ada.
Ada proyek USO (universal service obligation – kewajiban pemerintah memberi layanan universal di bidang telekomunikasi dan informatika kepada publik) untuk membangun ribuan BTS di seluruh kawasan 3T. Namun membangun BTS di kawasan Papua banyak terkendala kondisi geografisnya, yang pada masa pandemi dua tahun terakhir sulit mendapat BTS karena pabriknya “istirahat”, ada pembatasan perjalanan, selain maraknya gangguan keamanan.
Sejak 2015 hingga 2021, di kawasan 3T hanya terbangun BTS di 1.682 lokasi, rata-rata 280 BTS setahun, untuk penduduk sekitar 26,5 juta jiwa. Baru, sejak 2021 hingga kini sudah terbangun 2.555 titik, yang kalau dikerjakan dengan pola lama butuh waktu delapan tahun. *
*) Oleh Moch S Hendrowijono adalah pengamat telekomunikasi dan mantan wartawan senior Harian Kompas