Abid al-Jabiri, Pencetus Rasionalisme dan Modernisme Arab dari Maroko
Catatan Perjalanan KH. Imam Jazuli, Lc. MA.*
TRIBUNNEWS.COM - Sepulang dari Tunisia, penulis langsung memilih tujuan berikutnya, Maroko. Dari Bandar Udara Internasional Tunis-Carthage, pesawat lepas landas menuju Bandar Udara Internasional Mohammed V. Sepanjang perjalanan, penulis teringat pada Universitas Mohammed V dan intelektual yang dilahirkannya.
Salah satu filsuf Maroko, yang mempengaruhi dunia muslim, sekaligus lulusan Kampus Mohammed V ini adalah Muhammad Abid al-Jabiri. Namanya diabadikan oleh UNESCO sebagai penekun terbesar pemikiran Ibnu Rusyd. Dia lahir di kota Figuig, Maroko, pada 27 Desember 1935.
Selama hidupnya, Abid al-Jabiri melahirkan karya hampir tiga puluhan. Magnum opusnya berjudul 'Naqd al-'Aql al-'Arabiy', yang diterjemahkan ke seluruh bahasa di dunia, termasuk Indonesia. Kita mengenal terjemahan itu sebagai Kritik Nalar Arab.
Ketika masih kecil, Abid al-Jabari belajar pada kakek dari jalur ibunya. Belajar menghapal surat-surat pendek al-Qur'an dan doa-doan harian. Pada usianya yang ke-7, ibu Abid al-Jabiri menikah lagi dengan seorang guru yang memiliki madrasah.
Baca juga: Secuil Kisah Pertemuan, Dubes Maroko dan Menu Sarapan yang Lezat
Kepada ayah angkatnya itulah Abid al-Jabiri belajar agama. Walaupun hanya dalam waktu yang singkat. Sebab, sang paman segera memindahkannya ke French School di sana. Di sekolah, ia terkenal pandai di bidang aritmatika dan fasih membaca buku-buku berbahasa Perancis.
Saat itu, belajar di Sekolah Perancis harus menghadapi stigma negatif dari masyarakat. Banyak keluarga yang menolak menyekolahkan anak-anak mereka di Sekolah Perancis. Sebab, akan dianggap menentang nasionalisme dan agama. Keluarga Abid al-Jabiri tidak begitu, dan berpikiran terbuka.
Jika pun ada anak-anak Maroko yang belajar di sekolah Perancis, itu karena terpaksa. Pemerintah Perancis melakukan tekanan agar orangtua menyekolahkan anak mereka di sekolah pemerintah kolonial (Abdul Aziz Wahabi, Majallah Al-Bayan, No. 77, Tahun 1993).
Perjalanan intelektual Abid al-Jabiri dimulai dari 1967, ketika meraih gelar Diploma di bidang ilmu filsafat. Kemudian meraih gelar doktoral tahun 1980 dari Faculté des Lettres et des Sciences Humaines, Universitas Muhammad V, Rabat.
Salah satu komentar Abid al-Jabiri yang terkenal mengatakan, "akal Arab hari ini membutuhkan peremajaan." Dalam bukunya 'Naqd al-'Aql al-'Arabiy', Abid al-Jabiri mengangkat topik pentingnya penggalian epistemologi Islam yang berbasis pada turots.
Tidak seorang pun menentang pandangan Abid al-Jabiri, bahwa memikirkan kembali turots Arab klasik adalah asas paling inspiratif untuk kembangkitan nalar dan pencerahan Arab. Karena setiap umat muslim pasti menghargai warisan turots, walaupun tidak mampu menafsirinya secara lebih modern.
Baca juga: Thahir Al-Haddad, Bapak Feminisme Tunisia
Dalam konteks ini, Al-Jabiri bahwa modernisme bukan berarti menolak dan memutuskan diri dari masa lalu. Sebaliknya, modernisme adalah kebangkitan dengan cara berdialog dengan turots (Ali 'Abud al-Muhammadawi, Al-Mufakkiruna al-'Arab: Masyari' wa Tathallu'at, Beirut, 2017: 491).
Tentu saja ada banyak pro-kontra atas pemikiran Muhammad Abid al-Jabiri. Tetralogi yang diterbitkannya berjudul 1) Takwin al-'Aql al-'Arabiy, 2) Bunyah al-'Aql al-'Arabiy, 3) al-'Aql al-Siyasiy al-'Arabiy, dan 4) al-'Aql al-Akhlaqiy al-'Arabiy. Penulis telah lama mengkhatamkan tetralogi Abid al-Jabiri ini, sejak masih kuliah di Mesir hingga diberi amanah menjadi kyai kampung, mengurusi Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon.