News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Abid al-Jabiri, Pencetus Rasionalisme dan Modernisme Arab dari Maroko

Editor: Husein Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon, K.H. Imam Jazuli, dan rombongan bersama Duta Besar Republik Indonesia (Dubes RI) untuk Maroko, Hasrul Azwar, di Maroko, Jumat (23/12/2022).

Tetralogi Abid al-Jabiri di atas menantang respon dari para pemikir muslim lainnya. Misalkan, Jurj Tababishi (1939-2016), seorang ilmuan Aloppo, Suriah. Tarabishi menerbitkan buku berjudul ‘Naqd Naqd al-‘Aql al-Arabiy’ (Kritik atas Kritik Nalar Arab).

Bagi Jurj Tarabishi, saran Abid al-Jabiri untuk membaca kembali turots Arab akan menjadi eksiklopedia bila tidak diberi batasan. Sebab, turots Arab terpengaruh oleh turots Yunani dan turots filsafat Eropa. Sedangkan turots Arab Islam bukan lagi semata-mata filsafat, melainkan juga teologi, fikih, tasawuf, dan linguistik (Tarabishi, Naqd Naqd Aql Arabiy, Beirut, 2010).

Setelah melakukan kritik atas pemikiran Abid al-Jabiri. Jurj Tarabishi menemukan fakta bahwa akal Arab Islam banyak menampilkan paham determinisme. Dari sanalah, ia mengajukan dua pertanyaan fundamental, pertama: apakah kepasrahan akal (determinisme) dalam Islam merupakan hasil dari faktor eksternal, dan tunduk pada komentar dan kecaman orang lain?

Pertanyaan keduanya adalah: apakah kepasrahan akal dalam Islam merupakan tragedi internal, yang diatur oleh mekanisme internal sehingga pikiran Arab-Islam harus memikul tanggung jawab dan mengabaikan dirinya sendiri? Dua pertanyaan Jurj Tarabishi ini menjegal keinginan Abid al-Jabiri yang mau mengembangkan rasionalisme akal Arab.

Kritikan lain disampaikan Prof. Fathi al-Triki yang mengatakan, gagasan Dr. Muhammad Abid al-Jabiri lahir dari ketidaksukaannya terhadap pemikiran intelektual Maroko lainnya, yaitu Ali Harb al-Jabiri. Abid al-Jabiri menggunakan istilah 'akal' Arab dan akal Barat, Ali Harb lebih menggunakan istilah 'pemikiran' Arab dan 'pemikiran' Barat.

Ali Harb tidak mau mendikotomi akal, karena akal manusia itu satu dan sama, walaupun produk akal yang berupa pemikiran akan berbeda-beda, tergantung metodologi, instrumen, dan penampakannya (Majalah al-Mushawwar, isu 4466, 2010).

Dari sini penulis berpikiran, para intelektual Maroko luar biasa, baik itu Abid al-Jabiri maupun Ali Harb al-Jabiri. Jika Abid al-Jabiri ingin membangkitkan nalar Arab, supaya tidak jumud, lalu mampu bersaing dengan pemikiran Barat. Ali Harb al-Jabiri ingin menghargai produk pemikiran Arab sudah setara dengan produk pemikiran Barat, karena akal manusia itu satu dan berbeda di tataran pemikiran saja.

Karena itulah, sejak awal, Jurj Tarabishi dari Aleppo, Suriah, mengajukan pertanyaan yang tepat sasaran, apakah akal Arab itu mandiri, atau terpengaruh akal Yunani, atau tragedi dalam teologi Islam. Pertanyaan ini menyadarkan kita semua, bahwa akal manusia itu satu, tetapi produk pemikirannya berbeda tergantung pada faktor internal dan eksternalnya.[]

*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini