Oleh Dr. H. Ulul Albab, MS *)
Kementerian Haji dan Umrah di Indonesia harus direalisasikan. Alasan yang paling mendesak adalah tentang “konteks”, yaitu berkaitan dengan kompleksitas pengelolaan serta jumlah jamaah yang terus bertambah dan tidak mungkin dihentikan.
Pengelolaan haji dan umrah sangat kompleks, melibatkan pihak pemerintah, swasta, dan lainnya. Di pihak pemerintah, ada Kementerian Agama yang bertanggung jawab menyusun kebijakan, pelaksanaan teknis, pelayanan, bimbingan, serta pengelolaan sistem informasi terkait haji dan umrah.
Peran Kementerian Agama dari pusat sampai provinsi, kabupaten/kota, dan Kantor Urusan Agama (KUA) di tingkat kecamatan, juga sebagai operator. Mereka bertanggungjawab melaksanakan kebijakan teknis dan pelayanan, mulai dari proses pendaftaran, domuntasi, transportasi, akomodasi, dan advokasi serta kesehatan jamaah.
Baca juga: Tawarkan Hadiah Wisata ke Jepang hingga Umrah, Pegadaian Ajak Para Agen Ikuti Tantangan
Ada pula Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang bertugas menerima setoran Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH). Lembaga ini mengelola dan bertanggungjawab atas efisiensi dan transparansi pengelolaan dana haji.
Sementara di pihak swasta ada PPIU (Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah) yang mendapatkan lisensi oleh pemerintah (Kemenag) untuk menyelenggarakan perjalanan umrah. PPIU ini bertanggung jawab atas proses pendaftaran, keberangkatan, dan kepulangan jamaah umrah. Mereka harus memastikan bahwa jamaah yang mereka layani tidak hilang, melarikan diri atau tidak kembali ke tanah air.
Juga ada PIHK (Penyelenggara Ibadah Haji Khusus), yaitu perusahaan swasta yang memenuhi syarat memperoleh lisensi pemerintah untuk menyelenggarakan haji khusus dengan pelayanan eksklusif. Layanan PIHK ini berbeda dengan haji reguler yang diselenggarakan oleh pemerintah.
Pihak lain yang juga terkait dan bahkan penting adalah Komisi VIII DPR RI. Pihak ini bertugas dan bertanggung jawab untuk mengawasi serta memberikan rekomendasi kepada pemerintah terkait dengan pelaksanaan haji dan umrah. Di sisi lain, juga ada BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional) yang bertanggungjawab untuk memastikan perlindungan konsumen dalan pelaksanaan haji dan umrah.
Kompleksitas pengelolaan haji dan umrah tersebut, masih ditambah jumlah jamaah yang terus bertambah. Data yang dapat diakses menunjukkan bahwa setiap tahun jumlah jamaah haji dan umrah dari Indonesia terus meningkat. Ada sekitar 5,3 juta calon haji yang antri, dan sebanyak 1 juta lebih umat Islam Indonesia setiap tahunnya yang melakukan perjalanan umrah. Faktor besarnya jumlah jamaah serta terus meningkat ini pastilah berpotensi menimbulkan masalah baru yang lebih kompleks jika tidak ditangani dengan baik dan benar.
Disamping alasan “Konteks” sebagaimana diurai di atas, ada juga alasan lain yang berkaitan dengan peningkatan efisiensi dan pelayanan prima. Dengan dibentuknya Kementerian haji dan umrah, diharapkan ada peningkatan yang signifikan dalam hal efisiensi dan kualitas pelayanan jamaah. Melalui kementerian yang secara khusus ini, dapat dipastikan bahwa seluruh jamaah haji maupun umrah mendapatkan pengalaman yang menarik dan menyenangkan, pelayanan cepat, murah, nyaman, aman dan tentu saja harus ada jaminan keselamatan.
Baca juga: Ini Lima Rekomendasi Pansus Haji, Kemenag Anggap Revisi Regulasi
Alasan lain di luar alasan “konteks” adalah soal besarnya anggaran yang dikelola. Mengutip statemen Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Dr Mufti Mubarok, bahwa pengelolaan dana pada sektor haji dan umrah ini diperkirakan potensial mencapai 700 trilyun rupiah. Jumlah dana yang sangat besar ini tentu saja tidak lagi bisa diserahkan ke Kementerian Agama yang urusannya juga sudah banyak.
Dengan dibentuknya kementerian baru bidang haji dan umrah pada pemerintahan baru dibawah kepemimpinan presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka, maka besarnya anggaran tersebut dapat dikelola dengan baik tanpa ada kececer dan bocor karena salah kelola dan kurang akuntabel.
Faktor lainnya adalah adanya contoh baik dari Arab Saudi yang sudah memiliki Kementerian Haji dan Umrah. Dengan adanya Kementerian Haji dan Umrah di Indonesia maka koordinasi urusan haji dan umrah dengan pemerintah Arab Saudi akan jauh lebih proporsional, lebih koheren, lebih professional, bahkan lebih kontekstual.
Namun demikian yang perlu dikaji secara mendalam adalah, siapakah yang paling layak memimpin Kementerian Haji dan Umrah. Apakah politisi, birokrat, atau profesional?. Jika merujuk pada beberapa alasan diatas, maka seharusnya yang memimpin Kementerian Haji dan Umrah adalah figur dari profesional. Ia harus memiliki rekam jejak sebagai praktisi yang profesional baik di bidang haji maupun umrah.
Tingkat profesionalitas yang bersangkutan haruslah juga dibuktikan dengan adanya pengakuan dari para pihak yang terlibat dalam urusan tersebut, misalnya PPIU, PIHK, dan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (KBIHU). Pengakuan mereka bisa saja dilihat dari kepercayaan mereka kepada figur tersebut untuk menjadi pimpinan asosiasi misalnya. Tentu bukan sekedar asosiasi, tetapi asosiasi haji dan umrah yang besar dan berpengalaman serta menjadi mitra terbaik pemerintah selama ini. (*)
*) Dr. H. Ulul Albab, MS adalah Ketua Bidang Litbang Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia(DPP AMPHURI)