News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Abid al-Jabiri, Pencetus Rasionalisme dan Modernisme Arab dari Maroko

Editor: Husein Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon, K.H. Imam Jazuli, dan rombongan bersama Duta Besar Republik Indonesia (Dubes RI) untuk Maroko, Hasrul Azwar, di Maroko, Jumat (23/12/2022).

Abid al-Jabiri, Pencetus Rasionalisme dan Modernisme Arab dari Maroko

Catatan Perjalanan KH. Imam Jazuli, Lc. MA.*

TRIBUNNEWS.COM - Sepulang dari Tunisia, penulis langsung memilih tujuan berikutnya, Maroko. Dari Bandar Udara Internasional Tunis-Carthage, pesawat lepas landas menuju Bandar Udara Internasional Mohammed V. Sepanjang perjalanan, penulis teringat pada Universitas Mohammed V dan intelektual yang dilahirkannya.

Salah satu filsuf Maroko, yang mempengaruhi dunia muslim, sekaligus lulusan Kampus Mohammed V ini adalah Muhammad Abid al-Jabiri. Namanya diabadikan oleh UNESCO sebagai penekun terbesar pemikiran Ibnu Rusyd. Dia lahir di kota Figuig, Maroko, pada 27 Desember 1935.

Selama hidupnya, Abid al-Jabiri melahirkan karya hampir tiga puluhan. Magnum opusnya berjudul 'Naqd al-'Aql al-'Arabiy', yang diterjemahkan ke seluruh bahasa di dunia, termasuk Indonesia. Kita mengenal terjemahan itu sebagai Kritik Nalar Arab.

Ketika masih kecil, Abid al-Jabari belajar pada kakek dari jalur ibunya. Belajar menghapal surat-surat pendek al-Qur'an dan doa-doan harian. Pada usianya yang ke-7, ibu Abid al-Jabiri menikah lagi dengan seorang guru yang memiliki madrasah.

Baca juga: Secuil Kisah Pertemuan, Dubes Maroko dan Menu Sarapan yang Lezat

Kepada ayah angkatnya itulah Abid al-Jabiri belajar agama. Walaupun hanya dalam waktu yang singkat. Sebab, sang paman segera memindahkannya ke French School di sana. Di sekolah, ia terkenal pandai di bidang aritmatika dan fasih membaca buku-buku berbahasa Perancis.

Saat itu, belajar di Sekolah Perancis harus menghadapi stigma negatif dari masyarakat. Banyak keluarga yang menolak menyekolahkan anak-anak mereka di Sekolah Perancis. Sebab, akan dianggap menentang nasionalisme dan agama. Keluarga Abid al-Jabiri tidak begitu, dan berpikiran terbuka.

Jika pun ada anak-anak Maroko yang belajar di sekolah Perancis, itu karena terpaksa. Pemerintah Perancis melakukan tekanan agar orangtua menyekolahkan anak mereka di sekolah pemerintah kolonial (Abdul Aziz Wahabi, Majallah Al-Bayan, No. 77, Tahun 1993).

Perjalanan intelektual Abid al-Jabiri dimulai dari 1967, ketika meraih gelar Diploma di bidang ilmu filsafat. Kemudian meraih gelar doktoral tahun 1980 dari Faculté des Lettres et des Sciences Humaines, Universitas Muhammad V, Rabat.

Salah satu komentar Abid al-Jabiri yang terkenal mengatakan, "akal Arab hari ini membutuhkan peremajaan." Dalam bukunya 'Naqd al-'Aql al-'Arabiy', Abid al-Jabiri mengangkat topik pentingnya penggalian epistemologi Islam yang berbasis pada turots.

Tidak seorang pun menentang pandangan Abid al-Jabiri, bahwa memikirkan kembali turots Arab klasik adalah asas paling inspiratif untuk kembangkitan nalar dan pencerahan Arab. Karena setiap umat muslim pasti menghargai warisan turots, walaupun tidak mampu menafsirinya secara lebih modern.

Baca juga: Thahir Al-Haddad, Bapak Feminisme Tunisia

Dalam konteks ini, Al-Jabiri bahwa modernisme bukan berarti menolak dan memutuskan diri dari masa lalu. Sebaliknya, modernisme adalah kebangkitan dengan cara berdialog dengan turots (Ali 'Abud al-Muhammadawi, Al-Mufakkiruna al-'Arab: Masyari' wa Tathallu'at, Beirut, 2017: 491).

Tentu saja ada banyak pro-kontra atas pemikiran Muhammad Abid al-Jabiri. Tetralogi yang diterbitkannya berjudul 1) Takwin al-'Aql al-'Arabiy, 2) Bunyah al-'Aql al-'Arabiy, 3) al-'Aql al-Siyasiy al-'Arabiy, dan 4) al-'Aql al-Akhlaqiy al-'Arabiy. Penulis telah lama mengkhatamkan tetralogi Abid al-Jabiri ini, sejak masih kuliah di Mesir hingga diberi amanah menjadi kyai kampung, mengurusi Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon.

Tetralogi Abid al-Jabiri di atas menantang respon dari para pemikir muslim lainnya. Misalkan, Jurj Tababishi (1939-2016), seorang ilmuan Aloppo, Suriah. Tarabishi menerbitkan buku berjudul ‘Naqd Naqd al-‘Aql al-Arabiy’ (Kritik atas Kritik Nalar Arab).

Bagi Jurj Tarabishi, saran Abid al-Jabiri untuk membaca kembali turots Arab akan menjadi eksiklopedia bila tidak diberi batasan. Sebab, turots Arab terpengaruh oleh turots Yunani dan turots filsafat Eropa. Sedangkan turots Arab Islam bukan lagi semata-mata filsafat, melainkan juga teologi, fikih, tasawuf, dan linguistik (Tarabishi, Naqd Naqd Aql Arabiy, Beirut, 2010).

Setelah melakukan kritik atas pemikiran Abid al-Jabiri. Jurj Tarabishi menemukan fakta bahwa akal Arab Islam banyak menampilkan paham determinisme. Dari sanalah, ia mengajukan dua pertanyaan fundamental, pertama: apakah kepasrahan akal (determinisme) dalam Islam merupakan hasil dari faktor eksternal, dan tunduk pada komentar dan kecaman orang lain?

Pertanyaan keduanya adalah: apakah kepasrahan akal dalam Islam merupakan tragedi internal, yang diatur oleh mekanisme internal sehingga pikiran Arab-Islam harus memikul tanggung jawab dan mengabaikan dirinya sendiri? Dua pertanyaan Jurj Tarabishi ini menjegal keinginan Abid al-Jabiri yang mau mengembangkan rasionalisme akal Arab.

Kritikan lain disampaikan Prof. Fathi al-Triki yang mengatakan, gagasan Dr. Muhammad Abid al-Jabiri lahir dari ketidaksukaannya terhadap pemikiran intelektual Maroko lainnya, yaitu Ali Harb al-Jabiri. Abid al-Jabiri menggunakan istilah 'akal' Arab dan akal Barat, Ali Harb lebih menggunakan istilah 'pemikiran' Arab dan 'pemikiran' Barat.

Ali Harb tidak mau mendikotomi akal, karena akal manusia itu satu dan sama, walaupun produk akal yang berupa pemikiran akan berbeda-beda, tergantung metodologi, instrumen, dan penampakannya (Majalah al-Mushawwar, isu 4466, 2010).

Dari sini penulis berpikiran, para intelektual Maroko luar biasa, baik itu Abid al-Jabiri maupun Ali Harb al-Jabiri. Jika Abid al-Jabiri ingin membangkitkan nalar Arab, supaya tidak jumud, lalu mampu bersaing dengan pemikiran Barat. Ali Harb al-Jabiri ingin menghargai produk pemikiran Arab sudah setara dengan produk pemikiran Barat, karena akal manusia itu satu dan berbeda di tataran pemikiran saja.

Karena itulah, sejak awal, Jurj Tarabishi dari Aleppo, Suriah, mengajukan pertanyaan yang tepat sasaran, apakah akal Arab itu mandiri, atau terpengaruh akal Yunani, atau tragedi dalam teologi Islam. Pertanyaan ini menyadarkan kita semua, bahwa akal manusia itu satu, tetapi produk pemikirannya berbeda tergantung pada faktor internal dan eksternalnya.[]

*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini