Jika dulu, reklamasi diartikan “asal hijau” (kembali), maka sejak tahun 2000-an mulai diberi nilai tambah. Tidak saja hijau, tetapi juga yang produktif.
Jadilah, sejumlah lahan bekas tambang menjadi –misalnya—objek wisata, kebun buah, dan hutan tanaman keras.
“Hari ini, ragamnya bertambah, menjadi lahan tumbuhan sapu-sapu yang produknya berupa minyak atsiri. Dengan kata lain, reklamasi tidak hanya hijau tapia da ‘cuan’ nya,” kata Irdika, disambut tawa sekaligus tepuk tangan hadirin.
Bangun Tidur, Tidur Lagi
Irdika, bersama anggota Dewan Atsiri Indonesia senantiasa memberi pemahaman kepada masyarakat, betapa manusia hidup tak lepas dari atsiri. Dari bangun tidur sampai tidur lagi, semua bersentuhan dengan atsiri.
“Sikat gigi, odol memakai atsiri. Mandi, sabun pakai atsiri. Keramas, shampoo pakai atsiri. Deodorant, parfum, juga makai atsiri. Di mobil, di kantor, sampai akhirnya pulang dan gosok gigi lagi sebelum tidur. Semua memakai atsiri. Bahkan, temuan terbaru, ada juga atsiri yang berkhasiat untuk hubungan suami-istri,” kata Ardika sambil tertawa.
Melalui atsiri, nilai ekspor Indonesia bisa terus digenjot. Sebab, potensi atsiri Indonesia sangat berlimpah. Atsiri juga terbilang bisnis yang stabil. Sekalipun harganya fluktuatif, tetapi masih menyisakan margin keuntungan yang menjanjikan.
Agar pemahaman lebih komplet, Irdika mengajak empat orang anggota Dewan Atsiri Indonesia. Mereka adalah Wisnu Suncahyo (Direktur Utama PT Sinkona Indonesia Lestari-anak perusahaan Kimia Farma bidang atsiri), Martsiano (Direktur CV. Mazano Tech and Enginering/Dewan Atsiri Indonesia), Eliest Listiani (Direktur PT Syilendra Bumi Ivestama/Asosiasi Aromatherapi Indonesia), dan Wiliam S. Wijaya (Direktur PT WSW Grup Indonesia/SICHER).
Mereka semua telah mencanangkan tekad di bumi “Serumpun Sebalai” untuk merintis usaha kolektif masyarakat Babel di bidang atsiri sapu-sapu. Harapannya, atsiri sapu-sapu akan menjadi bisnis yang manis, sebelum cadangan timah habis.
Catatan: Egy Massadiah dan Roso Daras