News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Catatan Ketua MPR RI: Memampukan Sistem Hukum Ketatanegaraan Kelola Ragam Krisis

Editor: Content Writer
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo.

Pasca amandemen keempat UUD 1945, MPR bukan lagi Lembaga Tertinggi negara yang menjalankan kedaulatan rakyat. Per status, MPR sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya, namun tidak sama. Sebab, DPR berwenang membuat UU, sementara Presiden berwenang menerbitkan Peraturan Presiden Pengganti Undang-undang (Perppu).

MPR pasca amandemen tidak bisa lagi membuat ketetapan-ketetapan yang mengikat atau regeling (pengaturan yang mengikat). Bahkan, pada momentum pelantikan Presiden dan Wakil Presiden sekali pun, MPR RI tidak lagi memiliki kewajiban membuat ketetapan tentang pelantikan itu, melainkan hanya mengeluarkan Berita Acara Pelantikan.

Faktor minimnya peran dan fungsi MPR pada aspek hukum ketatanegaraan inilah yang menjadi catatan atau perhatian khusus Prof Yusril. Dia mengemukakan aspirasinya agar peran dan fungsi MPR RI diperkuat kembali. Penguatan itu hendaknya ditandai dengan memulihkan atau mengembalikan wewenang konstitusional MPR membuat ketetapan yang mengikat.

Apalagi, hirarki perundang-undangan sudah ditetapkan oleh Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011, yakni UUD, ketetapan MPR, Undang Undang, Perpu hingga Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah (Perda).

Tidak ada tujuan lain dibalik aspirasi pemulihan atau penguatan wewenang MPR. Satu-satunya tujuan strategis dibalik aspirasi ini adalah menghadirkan sistem hukum ketatanegaraan yang efektif, solutif dan komprehensif agar negara-bangsa selalu dimampukan mengelola dan mengatasi aneka krisis, termasuk krisis politik.

Tentu saja, siapa pun tidak pernah menghendaki terjadinya krisis politik. Semua orang tahu, harga yang harus dibayar oleh sebuah krisis politik sangatlah mahal. Namun, kendati krisis politik atau krisis konstitusi tidak pernah diinginkan, tetap saja sebuah negara-bangsa harus antisipatif dengan memberlakukan sistem hukum ketatanegaraan yang efektif, solutif dan komprehensif.

Sekadar pengandaian, krisis politik akan terjadi jika Pemilu 2024 tidak dapat dilaksanakan tepat waktu karena alasan kedaruratan. Tentang penundaan Pemilu sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Pasal 431 UU ini telah mengatur tentang penundaan Pemilu. Ditetapkan bahwa Pemilu bisa ditunda karena terjadinya kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lain yang mengakibatkan sebagian atau seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan.

Sudah bisa diperkirakan bahwa begitu Pemilu harus ditunda, ragam permasalahan pada aspek ketatanegaraan segera mengemuka. Paling utama misalnya, belum tentu semua elemen masyarakat dapat menerima keputusan penundaan Pemilu. Mengelola persoalan seperti ini jelas tidak mudah. Penolakan seperti itu praktis menjadi benih krisis politik.

Kemudian, Pemilu yang tertunda berkonsekuensi pada potensi kekosongan pemerintahan jika diasumsikan pemerintah hasil Pemilu sebelumnya sudah demisioner. Sambil menunggu hasil Pemilu untuk mendapatkan pemerintahan baru yang legitimate, haruskah Republik Indonesia dibiarkan begitu tanpa administrasi pemerintahan yang memerintah?

Krisis politik menjadi kenyataan tak terhindarkan oleh karena tidak adanya ketentuan dalam konstitusi maupun dalam perundang-undangan yang mengatur tata cara pengisian jabatan publik yang disebabkan kekosongan pemerintahan akibat penundaan Pemilu.

Belajar dari catatan sejarah tentang krisis politik 1966/67 dan krisis politik1998, menjadi relevan ketika Prof Yusril menyuarakan aspirasinya tentang urgensi penguatan atau pemulihan tugas dan fungsi MPR. Aspirasi yang sama sudah berulangkali disuarakan unsur pimpinan MPR RI.

Aspirasi ini tentu saja tidak semata-mata tentang pembagian kekuasaan di antara lembaga-lembaga tinggi negara, melainkan dilandasi keniscayaan negara-bangsa berkemampuan mengelola dan mengatasi krisis politik dengan sistem hukum ketatanegaraan yang efektif, solutif dan komprehensif.

Untuk tujuan itu, kedudukan, fungsi dan tugas MPR patut diperkuat kembali tanpa harus mengubah UUD 1945. Penguatan itu bisa diwujudkan dengan kesediaan semua elemen bangsa untuk kembali pada hirarki perundang-undangan, agar negara-bangsa mampu mengantisipasi, mengelola dan mengatasi aneka krisis demi tegaknya eksistensi NKRI.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 2023. Minal Aidin Wal Faizin. Mohon Maaf Lahir dan Batin.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini